Begini Aturan Sertifikasi Halal Produk Makanan
Berita

Begini Aturan Sertifikasi Halal Produk Makanan

Setelah mendapatkan sertifikat halal, pelaku usaha wajib mencantumkan label halal.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi jaminan produk halal: HOL
Ilustrasi jaminan produk halal: HOL

Sebagai negara yang penduduknya sebagian besar adalah muslim, produk halal adalah hal mutlak yang dijamin oleh negara. Di Indonesia sendiri, sebagai bentuk perlindungan konsumen muslim, setiap makanan dan minuman yang beredar diberi label halal. Jika tak ada label halal, maka tak ada jaminan kehalalan dari produk makanan di maksud. Dikutip dari UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU Produk Halal), produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. Sementara Jaminan Produk Halal (JPH) adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.

Sertifikasi halal sendiri dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI. Terkait dengan kehalalan suatu produk, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang hanya mengatur bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label (Pasal 8 ayat 1 huruf H UU PK). (Baca: Perlunya Keberpihakan Pada Konsumen Produk Halal di Aturan Turunan UU Cipta Kerja)

Adapun terkait keharusan adanya keterangan halal dalam suatu produk, dapat dilihat dalam JPH yang beberapa ketentuannya telah diubah, dihapus, atau ditetapkan pengaturan baru dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Pasal 45). Yang termasuk produk dalam UU Produk Halal adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat (Pasal 1 angka 1 UU JPH), sedangkan yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam (Pasal 1 angka 2 UU JPH).

Pada dasarnya produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal (Pasal 4 UU Produk Halal). Jadi, jika produk yang dijual tersebut adalah halal, maka wajib bersertifikat halal. Namun ada pengecualian bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK). Sesuai UU Ciptaker, bagi pelaku UMK, kewajiban bersertifikat halal didasarkan atas pernyataan pelaku UMK yang dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Adanya pengecualian sertifikasi halal bagi UMK memang menimbulkan pro dan kontra di kalangan publik. Menurut Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, self declaration terkait produk halal bagi UMK sangat berisiko melanggar hak-hak konsumen. Tulus sepakat jika pemerintah berupaya memberikan kemudahan bagi UMKM, tetapi dengan pernyataan halal yang didasarkan pada pernyataaan diri sendiri akan menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen. Untuk itu, Tulus meminta semua pihak untuk mengawal perumusan peraturan turunan. Karena menurutnya pasal tersebut harus memiliki aturan turunan yang kuat, disertai dengan pasal yang kuat pula.

Lalu bagaimana cara untuk memperoleh sertifikasi halal di Indonesia? Pertama, merujuk ke Pasal 24 UU Produk Halal, pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal wajib memenuhi empat hal yakni memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur; memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak halal; memiliki penyelia halal; dan melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.

Kedua, setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha wajib mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikat halal; menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal; memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak halal; memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir; dan melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH, sesuai Pasal 25 UU Produk Halal.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait