Begini Wajah 6 Tahun Implementasi Keterbukaan Informasi
Utama

Begini Wajah 6 Tahun Implementasi Keterbukaan Informasi

Masih banyak pekerjaan rumah sebagaimana mandat UU KIP yang belum terselesaikan.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Koalisi FOINI. Foto: NNP
Koalisi FOINI. Foto: NNP
Hari ini, Rabu (28/9), diperingati sebagai Hari Hak Untuk Tahu (Right to Know Day/RTKD). Perayaan RTKD acapkali dikaitkan dengan implementasi UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Artinya, telah genap berusia enam tahun implementasi keterbukaan informasi di Indonesia. Lantas, bagaimana kondisi keterbukaan informasi di Indonesia secara umum?

Sejumlah LSM yang tergabung dalam koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) memiliki catatan kritis terhadap perjalanan implementasi keterbukaan informasi publik di Indonesia. Peneliti dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), Desiana Samosir mengatakan bahwa masih banyak pekerjaan rumah sebagaimana dimandatkan UU KIP yang belum terselesaikan, seperti sejumlah persoalan infrastruktrur dasar. “Implementasi UU KIP masih sebatas gugurkan mandat undang-undang,” katanya.

Infrastruktur dasar yang dimaksud Desiana, antara lain pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), SOP Pelayanan Informasi, Daftar Informasi Publik, dan Komisi Informasi. Hingga Agustus 2016, Desiana menemukan ternyata masih terdapat provinsi yang belum membentuk PPID dan Komisi Informasi.

Sementara, untuk PPID Kementerian meskipun telah terbentuk seluruhnya, ternyata problem yang muncul adalah kualitas informasi yang diberikan menjadi persoalan. Problem itu berangkat dari proses penysunan Daftar Informasi Publik (DIP) yang menjadi kunci penentu belum dilakukan dengan baik. Padahal, dari penyusunan DIP, terkategorisasi  informasi mana saja yang dikecualikan dan informasi mana yang dapat diberikan kepada publik. (Baca Juga: Keterbukaan Informasi Publik Tentukan Partisipasi Politik)

Tak sampai di sana, keadaan itu kian rumit manakala SOP Pelayanan Informasi ternyata juga tidak disusun dengan baik. “Kualitas data yang disajikan tidak cukup baik. Seperti di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ada dokumen yang secara sepihak disebut dikecualikan untuk dibuka (ke publik,red),” katanya.
NoInfrastrukturStatus
1 PPID Kementerian 34 dari 34 (100%)
2 PPID Lembaga Negara/LNS 45 terbentuk dari 129, 84 belum teridentifikasi sudah membentuk atau belum
3 PPID Provinsi 32 dari 34, Provinsi Maluku Utara dan Kalimantan Utara belum membentuk PPID
4 PPID Kabupaten 285 terbentuk dari 416 Kabupaten, 131 belum membentuk PPID
5 PPID Kota 85 terbentuk dari 98, 13 belum terbentuk
6 Komisi Informasi 29 terbentuk, yang belum terbentuk:
1.    Provinsi Nusa Tenggara Timur
2.    Provinsi Kalimantan Utara
3.    Provinsi Maluku Utara
4.    Provinsi Papua Barat
5.    Provinsi Sulawesi Tenggara.
  Sumber: database FOINI

Di tempat yang sama, peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Astrid Debora malah menemukan adanya regulasi yang secara substansi melanggar ketentuan dalam UU KIP. Regulasi yang ia maksud adalah Peraturan Menteri Sekretaris Negara (Permensesneg) Nomor 2 Tahun 2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Klasifikasi Keamanan dan Akses Arsip Kementerian Sekretariat Negara. “Ini bertentangan dengan UU Kearsipan dan UU KIP,” sebut Astrid.

Secara umum, Permensesneg tersebut mengatur mengenai petunjuk pengamanan dan akses arsip sesuai dengan klasifikasi informasi arsip yang ditentukan. Namun, setelah ditelaah lebih jauh, ternyata ada salah satu substansi yang justru melanggar ketentuan UU KIP. Dalam bagian konsideran, aturan tersebut menyebut UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Nyatanya, Astrid sama sekali tidak menemukan substansi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 43 Tahun 2009.

Dalam Permensesneg tersebut, arsip dibagi menjadi empat bagian, yakni arsip biasa, terbatas, rahasia, dan sangat rahasia. Padahal, UU Nomor 43 Tahun 2009 hanya membagi arsip berdasarkan jenis, keberadaan, frekuensi penggunaan, nilai guna, dan kerahasiaannya. Selain itu, undang-undang juga membagi arsip berdasarkan arsip dinamis, vital, aktif, inaktif, statis, terjaga, dan umum. (Baca Juga: RPP Keterbukaan Informasi Publik Mulai Dibahas)

Menurut Astrid, kondisi seperti itu menjadi berbahaya apalagi dalam Permensesneg Nomor 2 Tahun 2016 terdapat ketentuan ketika arsip tersebut masuk kategori arsip biasa dan terbatas, di kemudian hari dapat ditetapkan sebagai arsip rahasia apabila Menteri Sekretaris Negara merasa perlu merahasiakannya. Selain karena tidak diatur dalam UU Nomor 43 Tahun 2009 yang menjadi konsiderannya, Astrid menilai ketentuan tersebut sangat berbahaya karena hanya alasan mengandung resiko strategis, suatu arsip dapat masuk menjadi katogori rahasia.

“Secara hierarki ini mudah diuji dengan UU 43/2009 dan UU KIP. Tapi ini sangat berdampak pada keterbukaan informasi dan hak akses publik terhadap informasi publik,” katanya.
Tags:

Berita Terkait