Beragam Indikasi Ruang Gerak Kebebasan Sipil Makin Sempit
Utama

Beragam Indikasi Ruang Gerak Kebebasan Sipil Makin Sempit

Indeks demokrasi Indonesia makin turun sejak 2016 dimana Indonesia menempati urutan 48 dari 167 negara dan tahun 2018 merosot ke peringkat 64. Tahun 2020, posisi indeks demokrasi Indonesia masih rendah, berada di peringkat 61. Disarankan organisasi masyarakat sipil merumuskan strategi baru menghadapi potensi menyempitnya ruang partisipasi publik.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Penanganan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang dinilai sarat pelanggaran hukum dan HAM, Kamis (8/10) lalu. Foto: RES
Penanganan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang dinilai sarat pelanggaran hukum dan HAM, Kamis (8/10) lalu. Foto: RES

Demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami kemunduran. Hal ini dapat dilihat dari ruang kebebasan sipil yang makin sempit. Termasuk mempersempit ruang untuk oposisi demokratis; mengarahkan lembaga-lembaga demokrasi sesuai kemauannya; dan secara bertahap mengubah suatu negara menjadi negara otoriter.

Pandangan itu disampaikan Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto dalam diskusi daring bertajuk “Ruang Gerak Masyarakat Sipil Sesudah UU Cipta Kerja”, Kamis (17/12/2020). Mengutip pernyataan Sosiolog Amerika Serikat, Larry Diamond, Damar menyebut Indonesia termasuk negara yang rentan mengalami kegagalan demokrasi. Selain itu, indeks demokrasi Indonesia semakin turun sejak 2016 dimana Indonesia menempati urutan 48 dari 167 negara. Tahun 2018 merosot ke peringkat 64 dan tahun 2020 posisi indeks demokrasi Indonesia masih rendah, berada di peringkat 61.

Damar melihat sempitnya ruang demokrasi dan kebebasan sipil itu juga menyasar ranah digital atau daring. Selama ini ranah digital dianggap menjadi bagian yang tak terpisah dari proses demokrasi karena disitu masyarakat dapat berekspresi dan menyampaikan pemikirannya kepada publik.

Tapi belakangan ranah ruang digital/daring digunakan juga sebagai sarana represi, misalnya dengan cara memberikan disinformasi atau hoax untuk menyerang percakapan di media sosial. Dia memberi contoh dalam kasus penolakan terhadap RUU Cipta Kerja, beredar hoax yang menyebut Buya Syafii Maarif mendukung RUU Cipta Kerja.

Kemudian ada tagar dan influencer yang digunakan untuk mendukung RUU Cipta Kerja. Tak hanya itu, Damar melihat UU ITE digunakan untuk menjerat masyarakat yang menolak RUU Cipta Kerja. Hal ini semakin diperkuat dengan munculnya Surat Telegram Kapolri No.STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020.

Isinya memerintahkan melakukan cyber patroli pada medsos dan manajemen media untuk bangun opini publik yang tidak setuju dengan aksi unjuk rasa di tengah pandemi Covid-19; melakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah. Alhasil, jumlah kasus jerat pemidanaan menggunakan UU ITE meningkat pada tahun 2020 yang mencapai 59 kasus.

“Ini menandakan hukum semakin kuat menangkap masyarakat yang berpandangan kritis,” kata Damar Juniarto dalam diskusi secara daring, Kamis (17/12/2020). (Baca Juga: Beragam Tantangan Penegakan dan Perlindungan HAM)

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait