Beragam Risiko Negatif dari Pajak Sembako
Terbaru

Beragam Risiko Negatif dari Pajak Sembako

Pengenaan PPN pada sembako mengancam ketahanan pangan, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah. Lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan yang bernutrisi karena harga pangan yang mahal.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemerintah berencana memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang barang kebutuhan pokok atau sembako, termasuk beras. Ketentuan tersebut sehubungan dengan rencana pemerintah merevisi Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Berdasarkan draf yang diperoleh Hukumonline, RUU KUP menghapus jenis barang yang tidak dikenai PPN dalam UU 8/1983 Tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU 11/2020 Tentang Cipta Kerja.

Menanggapi persoalan tersebut, Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan kenaikan PPN sembako berisiko meningkatkan harga pangan dan mengancam ketahanan pangan. Selain itu, kenaikan PPN sembago juga akan berdampak buruk kepada perekonomian Indonesia secara umum.

"Pengenaan PPN pada sembako mengancam ketahanan pangan, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah. Lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan yang bernutrisi karena harga pangan yang mahal,” ujar Felippa. (Baca: Surati DPR, Pemerintah Siap Bahas Rencana Kenaikan PPN)

Felippa menjelaskan pemberitaan yang ramai akhir-akhir ini di media mengenai pemberlakuan PPN tersebut akan diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Revisi tersebut akan mencakup penghapusan barang kebutuhan pokok (Sembako) - beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi - kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. "Menambah PPN akan menaikkan harga dan memperparah situasi, apalagi di tengah pandemi ketika pendapatan masyarakat berkurang,” imbuh Felippa.

Dia menjelaskan pangan berkontribusi besar pada pengeluaran rumah tangga, dan bagi masyarakat berpendapatan rendah, belanja kebutuhan pangan bisa mencapai sekitar 56 persen dari pengeluaran rumah tangga mereka. Pengenaan PPN pada sembako tentu saja akan lebih memberatkan bagi golongan tersebut, terlebih lagi karena PPN yang ditarik atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), pada akhirnya akan dibebankan pengusaha kepada konsumen.

 Ketahanan pangan Indonesia sendiri berada di peringkat 65 dari 113 negara, berdasarkan Economist Intelligence Unit's Global Food Security Index. Salah satu faktor di balik rendahnya peringkat ketahanan pangan Indonesia ini adalah masalah keterjangkauan. Keterjangkauan pangan yang menurun dengan sendirinya akan mendorong lebih banyak lagi masyarakat berpenghasilan rendah ke bawah garis kemiskinan.

Tags:

Berita Terkait