BNSP Akan Perbanyak Program Sertifikasi Profesi
Berita

BNSP Akan Perbanyak Program Sertifikasi Profesi

Tujuannya untuk memperkuat SDM di tanah air dalam menghadapi MEA.

Oleh:
FAT/ANT
Bacaan 2 Menit
Kepala BNSP Ir. Sumarna F. Abdurrahman. Foto: Setkab RI
Kepala BNSP Ir. Sumarna F. Abdurrahman. Foto: Setkab RI
Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) berencana memperbanyak program sertifikasi profesi untuk memperkuat sumber daya manusia (SDM) di tanah air. Seperti yang dilansir dari laman setkab, rencana ini dilakukan dalam menghadapi era pasar besar pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), pada awal 2016 mendatang.

Keinginan BNSP tersebut terlihat dari upaya Ketua BNSP, Sumarna F Abdurahman yang menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi), di kantor Presiden, di Jakarta, Senin (8/6) pagi. Sumarna berharap dapat memperoleh dukungan penguatan bagi pelaksanaan tugas dan fungsi BNSP dari Presiden Jokowi.

“Kita melaporkan kepada Presiden bahwa karena tugas dan fungsi dari BNSP ke depannya makin besar, maka kami meminta dukungan Presiden untuk meningkatkan kapasitas kelembagaannya. Selama ini dari segi penganggaran kami mengikuti dengan sistem anggaan Kementerian Tenaga Kerja, sehingga kami tidak bisa banyak mengembangkan program,” kata Sumarna kepada wartawan seusai diterima Presiden Jokowi.

Menurut Sumarna, Presiden Jokowi mendukung rencana yang akan dilakukan BNSP tersebut. Namun, masih ada persoalan seperti masih rendahnya kualitas pendidikan tenaga kerja kita yang masih lebih dari 50 persen berpendidikan SD ke bawah, maka sertifikasi kompetensi itu menjadi penting.

“Beliau menyatakan bahwa ke depannya akan mendorong pengembangan pendidikan vokasi, baik itu politeknik maupun SMK. Malah untuk meningkatkan kualitas SMK beliau menyatakan akan dibentuk SMK Inpres,” ungkap Sumarna.

Setidaknya, lanjut Sumarna, terdapat 12 sektor yang profesinya mendesak untuk segera diadakan program sertifikasi. Sektor-sektor tersebut adalah, agro, karet, kayu, yang masuk kategori sektor produksi. Lalu, lima sektor jasa, yaitu logistik, kesehatan, pariwisata, perhubungan udara, dan komunikasi dan informasi.

Namun, dari 12 sektor prioritas tersebut, baru satu yang dilaporkan BNSP kepada Presiden Jokowi. Hal itu dikarenakan infrastruktur sertifikasi kompetensinya sudah diakui di ASEAN, yaitu pariwisata. Sementara sektor-sektor lainnya, program sertifikasinya belum bisa dilakukan lantaran infrastruktur untuk sertifikasi penyiapan SDM belum dibangun.

Sumarna khawatir, kalau infrastruktur tersebut belum dibangun, bisa memicu sejumlah kelemahan bagi Indonesia sendiri, seperti tingkat produktif yang rendah, sehingga berdampak pada produk yang dihasilkan tidak kompetitif.

Selama ini, kata Sumarna, BNSP sudah mulai melakukan terobosan, yakni dengan mengadopsi standar kompetensi dari luar, seperti Australia. Dipilihnya Australia lantaran selama ini negara tersebut telah menjadi kiblat standar kompetensi dari negara-negara ASEAN.

“Pihak Autralia sudah mengeluarkan surat resmi dari departemen pendidikan dan pelatihannya, bahwa BNSP diizinkan untuk mengadopsi standar kompetensi untuk 12 sektor prioritas ASEAN,” katanya.

Ia menuturkan, Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain dalam hal sertifikasi profesi masih sangat rendah. Misalnya saja di sektor pariwisata. Di Filipina, saat ini sudah ada 600 ribu tenaga kerja bersertifikat ASEAN untuk pariwisata. Sementara Indonesia baru 7 April 2015 lalu, BNSP memberikan sertifikat perdana di Denpasar sebanyak 400 orang.

“Kita melakukan uji untuk tenaga perhotelan di Bali, dengan standar ASEAN,” ujar Sumarna.

Terpisah, Kepala Pusat Pembinaan Kompetensi dan Pelatihan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Krishna Suryanto mengatakan arsitek dan insinyur Indonesia wajib memiliki pengakuan di tingkat ASEAN untuk menghadapi MEA. Ia mengatakan, dengan berlakunya MEA, maka akan terjadi pasar bebas investasi, barang, dan jasa di kawasan tersebut.

“Hal itu penting agar dapat bertahan dari serbuan arsitek dan insinyur dari negara-negara ASEAN lainnya, karena Indonesia merupakan pasar konstruksi terbesar di ASEAN,” katanya dalam lokakarya dan seminar ‘Sertifikasi dan Registrasi ASEAN Architect dan ASEAN Chartered Professional Engineer’ di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Senin.

Menurut Krishna, berdasarkan kerangka Mutual Recognition Arrangement (MRA) ada dua jenis jasa bidang konstruksi yaitu arsitek dan insinyur. Untuk insinyur yang akan bekerja di lingkungan ASEAN harus memiliki ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE), sedangkan arsitek harus memiliki sertifikat ASEAN Architect (AA).

Dekan FTSP UII, Widodo Brontowiyono mengatakan kegiatan lokakarya dan seminar ini bertujuan meningkatkan pengetahuan para tenaga ahli konsultan nasional dan mahasiswa terhadap arah kebijakan pembangunan nasional dan strategi pemerintah di sektor jasa kontruksi dalam menghadapi MEA.

“Selain itu juga meningkatkan pengetahuan para pelaku jasa konstruksi dan mahasiswa mengenai UU Keinsinyuran dan UU Arsitek, dan memfasilitasi para insinyur Indonesia sebagai tenaga ahli konsultan nasional agar memiliki sertifikat kesetaraan ACPE dan AA sehingga konsultan nasional mampu bersaing di era MEA 2015," katanya.

Rektor UII Harsoyo mengatakan lokakarya dan seminar itu diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada para peserta sehingga bisa mempersiapkan diri dalam rangka menghadapi pemberlakuan MEA 2015. “Kami juga mengepresiasi langkah positif yang diambil oleh FTSP UII dengan menyelenggarakan kegiatan itu, bahkan ada kemungkinan pelaksanaan kerja sama dengan lembaga-lembaga yang diundang pada seminar tersebut,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait