Bukan Akhir Penyelesaian
Tajuk

Bukan Akhir Penyelesaian

Kalau kriminalisasi atas pimpinan dan penyidik KPK masih berjalan, maka investor akan bertanya pada diri sendiri, kalau pejabat KPK yang sangat ditakuti saja bisa dikriminalisasi, bagaimana mereka yang berada di sektor swasta yang minim perlindungan hukum?

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Basuki
Ilustrasi: Basuki
Memahami dan menulis tentang kisruh Cicak-Buaya jilid III agak sulit, karena perubahan fakta dan kejadian terjadi setiap jam, dan logika kita dijungkir-balikkan oleh tingkah dan kelakuan mereka yang tidak memahami atau pura-pura tidak memahami logika, etika dan jantung dari kebijakan atau peraturan yang terkait dengan kisruh. Batas antara ketidak-pahaman dan ketidak-warasan menjadi kabur juga karenanya. Pisau analisa yang selalu menggunakan parameter yang ilmiah, empiris dan objektifitas pola pikir menjadi tidak banyak berguna.

Tiba-tiba muncul banyak analis, ahli dan komentator yang membanjiri arus informasi yang saling bertolak-belakang, di ruang-ruang publik dan privat kita. Setelah pemilu terakhir, Indonesia terbelah lagi. Dan rakyat dibawa kembali ke arah banyak simpang yang sebagian menyesatkan. Jadi untuk dapat pemahaman yang lengkap, kita kutip saja kata-kata Jokowi: ”sabar, sabar, sekali lagi sabar …”.

Penyelesaian yang dinanti oleh banyak orang sudah diputuskan oleh Presiden. BG tidak jadi dilantik, Kapolri baru diusulkan Presiden ke DPR, dan dua komisioner KPK diberhentikan sementara karena sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi, dan tiga pejabat pelaksana tugas Komisioner KPK ditunjuk untuk menjadikan KPK sebagai institusi tetap berjalan menjalankan tugasnya. Selesaikah?

Sudah diduga sebelumnya bahwa Jokowi akan “dipaksa” untuk melakukan kompromi dalam keputusannya. Dan sudah diduga juga akan ada korban-korban dari setiap penyelesaian yang kompromistis. Posisi politik Jokowi memang cukup rentan, jarak dengan partai pendukung dan Megawati sudah melebar, sementara dukungan yang diperoleh dari partai-partai oposisi jelas hanya dukungan semu sebagai permainan politik sementara mereka. Persetujuan atas pencalonan BG oleh DPR diduga kuat penuh dengan kepentingan politik.

Jokowi mungkin tidak menduga bahwa pencalonan BG akan disetujui oleh DPR karena begitu banyaknya permasalahan yang memberati BG. Tetapi ternyata dalam waktu yang sangat singkat sejumlah besar politisi di DPR membacanya sebagai suatu kesempatan untuk mengubah tatanan kekuatan politik praktis saat ini, sekaligus merupakan jalan masuk untuk menghambat, melemahkan dan bahkan menghancurkan KPK. Terjadilah serentetan kejadian yang sudah kita saksikan beberapa minggu terakhir ini yang menguras energi dan emosi begitu banyak pihak.

Penyelesaian seperti itu menyisakan masih begitu banyak persoalan mendasar. Persoalan yang menjadi terang adalah KPK yang didukung perundangan dan dukungan publik yang kuat ternyata mudah untuk dipermainkan, dan pejabat dan penegak hukum di dalamnya sangat mudah untuk dikriminalisasi. BW dan AS tetap tersangka, dan belum ada janji pemerintah bahwa SP3 atau bentuk lain pelepasan atau pembebasan BW dan AS dari proses tersebut akan dilakukan.

Semua masalah yang dituduhkan kepada BW dan AS bisa digolongkan sebagai “petty cases” (perkara kecil atau minor) yang sudah terjadi di masa sebelum mereka menjabat sebagai komisioner KPK, dan karenanya tidak ada kaitannya dengan penyalah-gunaan jabatan sebagai komisioner KPK, dan bukan pula kejahatan korupsi, kejahatan kemanusiaan atau kejahatan serius lainnya. Kita tidak harus pintar untuk menyimpulkan bahwa dari segi waktu dan konteks, perkara-perkara tersebut jelas dimunculkan untuk memenangi saga Cicak-Buaya jilid III.

Kalau perkara-perkara itu begitu seriusnya mempengaruhi kinerja KPK, sudah pasti itu telah terjaring dalam proses “fit and proper test” BW dan AS sebagai calon komisioner KPK. Pansel yang tediri dari orang-orang kredibel meloloskan mereka, Presiden yang lalu meloloskan mereka, dan DPR juga meloloskan mereka dalam tes tersebut. Kalau Presiden yang sekarang mengatakan bahwa eksekutif tidak bisa intervensi dalam proses hukum, atau menghormati proses hukum, kita juga tidak harus pintar untuk mengatakan bahwa sekeliling Presiden telah berhasil menekannya untuk, sadar atau tidak sadar, menjadikan KPK lemah, dan kriminalisasi telah berjalan.

Ancaman untuk menjadikan 21 penyidik KPK sebagai tersangka karena izin penggunaan senjata api mereka sudah daluwarsa akan sangat melemahkan KPK. Kalau mereka menjadi tersangka, sudah pasti tumpukan perkara KPK yang dalam proses penyelidikan dan penyidikan bahkan penuntutan akan terbengkalai, dan itu rupanya yang memang dikehendaki oleh para koruptor dan para kolaboratornya. Sangat tidak mungkin bahwa untuk masalah yang sangat sensitif, KPK tidak mengajukan izin perpanjangan penggunaan senjata api. Jangan-jangan permintaan perpanjangan mereka tidak pernah digubris sehingga KPK dan para penyidiknya akan terlihat melanggar hukum.  

KPK sebagai lembaga terdepan dan terbaik pemberantasan korupsi saat ini dilucuti habis-habisan, dengan kesadaran penuh dari para pemimpin tertinggi eksekutif, legiskatif dan yudikatif. Dan tidak ada satupun yang menyadari, kecuali sejumlah NGO, pemerhati dan akademisi, dampaknya terhadap masa depan Indonesia yang akan tetap menjadi negara sarang koruptor, dampaknya terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi dan rusaknya iklim investasi. Kita bisa kembali ke masa orde baru, dimana korupsi, teror, dan penindasan HAM akan menjadi keseharian dalam kehidupan berbangsa.

Masalah lainnya adalah kredibilitas Jokowi sendiri dan kepercayaan atas penegakan hukum di Indonesia ke depan. Begitu banyak pertanyaan investor dan calon investor serta media asing tentang dampak sikap Presiden dalam kasus ini terhadap investasi dan masa depan investasi mereka. Selama ini Presiden telah berhasil menunjukkan komitmen tinggi untuk pengembangan investasi, pembangunan infrastruktur dan perbaikan kesejahteraan rakyat dengan melakukan banyak terobosan baru yang dipuji dapat mengubah iklim investasi di Indonesia ke arah positif. 

Untuk investor asing (dan sebagian investor domestik), integritas dari lembaga anti korupsi dan birokrasi (pemberi lisensi) serta penegak hukum menjadi bagian dari pertimbangan investasi mereka. Kalau korupsi masih berjalan, mereka yang terikat pada US Foreign Corrupt Practice Act, British Anti Bribery Act, serta undang-undang serupa dari banyak negara, akan melihat investasi di Indonesia sebagai investasi berisiko tinggi. Ketaatan atas semua undang-undang itu merupakan hal mutlak. Ketaatan pada prinsip “good governance” merupakan satu cara terpenting untuk meningkatkan “shareholders value” yang menjadi tujuan utama dalam berinvestasi.

Kalau kriminalisasi atas pimpinan dan penyidik KPK masih berjalan, maka investor akan bertanya pada diri sendiri, kalau pejabat KPK yang sangat ditakuti saja bisa dikriminalisasi, bagaimana mereka yang berada di sektor swasta yang minim perlindungan hukum? Bayang-bayang menakutkan yang disebabkan oleh kriminalisasi perkara-perkara perdata sebagaimana dalam kasus-kasus yang menjerat swasta seperti yang terjadi akhir-akhir ini (Merpati, Chevron, Indosat-IM2) akan membuat investor akan berpikir ulang untuk melakukan investasi atau rencana investasinya di Indonesia. 

Kriminalisasi tidak mungkin terjadi kalau pihak penegak hukum memahami bahwa kebijakan bisa berujung salah, tetapi juga sekaligus memahami bahwa kebijakan tidak seharusnya merupakan tindak pidana, kalau intensi pihak yang mengeluarkan kebijakan adalah murni menjalankan tugas yang digariskan dalam peraturan perundangan, atau keputusan bisnis atau ekonomi murni yang dilandasi iktikad baik, serta tidak mengandung niat atau kelalaian besar yang mengakibatkan kerugian atau keuangan negara.

Meskipun terkesan sangat lambat dan tersendat, banyak “the concerned citizens”  masih punya harapan bahwa ada pemihakan yang jelas dari pemerintah khususnya Presiden atas gerakan anti korupsi, untuk dalam waktu dekat ini memperbaiki kebijakannya dalam menyelesaian kisruh Cicak-Buaya jilid III. Keluarkan SP3 bagi para komisioner KPK yang dikriminalisasi, kembalikan mereka untuk aktif kembali sebagai komisioner KPK, kalau perlu angkat satu Plt yang bersih dan memahami pemberantasan korupsi untuk melengkapi pimpinan KPK, hentikan kriminalisasi dan teror terhadap penyidik KPK, dan komandani pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan lebih tegas, sehingga mampu memberi harapan baru bagi seluruh rakyat bahwa Indonesia di bawah Jokowi masih bisa menjadi Indonesia yang bersih dari korupsi, teror dan penindasan HAM.  Pak Jokowi, jangan biarkan kekecewaan berakumulasi, dan berakhir pada sikap apatis masal yang bisa mencoret nama dan niat baik anda dari sejarah.

Februari 2015
Tags: