Bukan Saatnya Hanya Merenung
Tajuk

Bukan Saatnya Hanya Merenung

Ketika sisa masa bergulir cepat ke ujung tahun, orang bertradisi untuk melakukan kontemplasi, perenungan dalam atas capaian dan kegagalan, bersit kebanggaan dan penyesalan, juga the good, the bad and the ugly yang terjadi selama kurun waktu 12 bulan terakhir dalam kehidupan pribadi, keluarga, lingkungan, bangsa dan negara. Kedengarannya akrab betul dengan keseharian kita di penghujung tahun.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Bukan Saatnya Hanya Merenung
Hukumonline

 

Dunia usaha punya kesalahan sendiri. It takes two to tango. Tanpa adanya dunia usaha yang terbiasa mengambil untung di luar kewajaran dari menyogok, baik untuk mendapatkan lisensi, memenangi tender, memberikan harga mark-up, mengurangi mutu produk atau jasa, dan tindakan KKN lainnya, penguasa baik birokrasi, parlemen maupun jajaran peradilan tidak akan bisa korup. Seperti kata seorang teman dekat, ekonom hebat lulusan Wharton, korupsi akan selalu ada selama ada kebijakan yang memungkinkan marjin yang besar. Dunia usaha akan mencari jalan apapun, sesuai atau melanggar hukum, tunduk atau tidak tunduk etika, formal atau jalan belakang, untuk mendapatkan marjin terbesar. Bila kebijakan yang diterapkan sedemikian rupa sehingga siapapun yang menjalani usaha hanya akan mendapat marjin yang tipis tapi masih bisa menjalankan roda ekonomi secara efisien, maka tidak akan ada insentif yang cukup bagi dunia usaha untuk bermain curang, apalagi bila agen pemberantas korupsinya efektif, dan pengadilan anti korupsi menjatuhkan hukuman maksimum kepada para koruptor.

 

Demikian juga masyarakat umum yang terdidik bersikap korup. Mengurus KTP, SIM, IMB, surat nikah, akta lahir, paspor dan lain-lain akan lebih mudah dan cepat dengan mengeluarkan uang kecil atau uang rokok kepada pejabat kecil di depan loket atau melalui para broker. Membayar polisi lalu lintas bila tertangkap tangan karena pelanggaran kecil. Memberi uang tip kepada panitera untuk mendapatkan keputusan pengadilan atau meminta sidang atau sita jaminan dipercepat. Itu semua warisan rezim korup yang turut dinikmati oleh masyarakat umum. Suatu kemewahan yang luar biasa mahalnya untuk bangsa ini kalau uang rokok, uang kecil, uang terima kasih atau tip itu dihitung secara nasional, setiap jam, hari, bulan dan tahun. Pasti luar biasa besarnya. Belum lagi dihitung dari moral hazard.

 

Semua itu tidak akan terjadi kalau sistim administrasi yang dijalankan instansi publik cukup nyaman, efisien, cepat dan ramah. Pejabat publik akan mampu melakukannya bila gaji mereka cukup, papan pangan memadai, anak bisa sekolah, istri bisa melahirkan di rumah sakit umum, biaya asuransi terjangkau, dan sebagainya. Jadi lingkaran setan yang dicoba diputus oleh inisiatif sejumlah pejabat publik, donor dan LSM dengan mengupayakan reformasi birokrasi, mengefisienkan fungsi-fungsi pelayanan publik,  memang layak coba, dan memang harus berhasil.

 

Daftar bersalah ini bisa panjang, termasuk juga mereka yang bermental Oba di parlemen, dengan melakukan pemerasan ke pejabat publik di birokrasi, membuat UU pesanan, menjadi broker perkara dan meluluskan fit & proper test dengan bayaran, imbalan jasa serta perbuatan melanggar hukum lain. Demikian juga dengan pejabat publik lain, termasuk auditor negara dan pejabat Bea Cukai dan Pajak yang melakukan pemerasan, sekaligus mengurangi pendapatan negara, pejabat militer yang memangkas pendapatan dan fasilitas prajurit, melakukan bisnis militer untuk kepentingan militer berbintang, dan pembelian alat militer melalui broker dan dengan harga mark-up, pejabat pendidikan yang menyunat fasilitas pendidikan dan pendapatan guru, termasuk guru temporer, pejabat agama yang memainkan dana umat, pejabat pekerjaan umum yang gali lubang tutup lubang di jalan raya demi proyek baru, pejabat transportasi yang mengkorup bujet alat transportasi sehingga membahayakan keselamatan umum, pejabat kesehatan yang memotong bantuan ke PMI sehingga darah untuk transfusi tidak bersih dari penyakit berbahaya, dan sebagainya dan sebagainya.

 

Menyalahkan orang lain memang mudah, dan kita belakangan menjelma menjadi bangsa nyinyir yang suka sekali dengan kelemahan, kesalahan dan kebobrokan orang lain, dan saling tuding dengan penuh kedengkian. Kebuntuan untuk mengadili dosa masa lalu menjadikan banyak pihak cenderung untuk melancarkan gerakan memaafkan tetapi tidak melupakan ala Mandela pada saat rekonsiliasi besar di Afsel. Dengan begitu, dosa masa lalu dimaafkan, dan kita seharusnya hanya melihat ke depan. Sungguh ini pendekatan yang cukup gegabah dan buru-buru, yang menimbulkan moral hazard yang tinggi, tidak memberikan pembelajaran terhadap pembangunan kembali bangsa ini, memberi peluang kepada penjahat HAM berat, koruptor besar dan kroni Soeharto untuk menggunakannya sebagai jalan lolos dari jeratan hukum, menyembunyikan dan mengangkangi aset negara, bersembunyi di balik partai-partai politik, dan menjalankan counter strike kepada para penggiat antikorupsi, pejuang HAM, birokrat bersih dan reformis untuk menuntaskan kerja  membangun kembali bangsa ini. Pengampunan massal hanya dapat terjadi dalam kerangka besar rekonsiliasi bangsa, yang diberikan kepada mereka yang mengaku bersalah, mengembalikan aset negara, dan secara jujur dan sungguh-sungguh serta dengan langkah konkrit ingin menjadi bagian dari mereka yang benar-benar melaksanakan agenda reformasi secara penuh.

 

Kembali ke tema pokok tulisan ini, yaitu bagaimana kita berkontemplasi menghadapi pergantian tahun dalam konteks apa yang berada dalam batas-batas kemampuan atau pengendalian kita. Sebagai orang hukum, maka wajar bila apa yang harus kita kontemplasikan terkait dengan kebijakan dan politik hukum, efektifitas hukum dan institusi hukum, dan penegakkan dan pelaksanaan hukum secara tegas, adil dan tanpa kompromi. Kita sudah melakukan reformasi hukum selama sepuluh tahun lebih, walaupun sering dikatakan itu hanya reformasi setengah hati. Kontemplasi dan perenungan tidak akan menghasilkan apapun kecuali kita punya semangat besar dan langkah-langkah konkrit untuk berbuat dengan cepat.

 

Pertama, marilah kita akui bahwa kita semua merupakan bagian dari kesalahan besar bangsa ini karena telah ikut serta, menikmati atau setidaknya membiarkan sistim hukum, kebijakan hukum dan penegakkan hukum yang dilakukan selama sepuluh tahun ini hanya beranjak tidak jauh dari apa yang ditinggalkan oleh orde baru selama lebih dari tiga puluh tahun merusak kita. Pengakuan bersalah selalu merupakan awal baik dari perbaikan.

 

Kedua, marilah kita meninjau kembali pekerjaan selama sepuluh tahun terakhir ini dan mengakui bahwa memang hasil kerja kita tidak cukup efektif, tidak menghasilkan kebijakan publik yang secara utuh dan komprehensif bersifat pro-reform, tidak cukup menggerakkan semangat berubah dari dalam institusi, dan tidak memperoleh dukungan yang cukup, mengakar dan berkesinambungan dari para stakeholders untuk menghasilkan perubahan yang nyata dan berarti. Peninjauan kembali kerja reformasi paling tidak memberikan peta yang menggambarkan dimana kita berpijak sekarang ini sehingga arah kedepan kerja reformasi bisa tergambar ke target dan capaian yang lebih tepat dan efektif.

 

Ketiga, sering kali terbukti bahwa perumusan kebijakan publik, efektifitas institusi penegak hukum, dan pelaksanaan dan penegakkan hukum mendapat intervensi politik secara massif, atau tidak mendapat dukungan politik yang kuat atau dipengaruhi oleh kompromi-kompromi elit politik yang sangat pragmatis. Mengharapkan dukungan politik dari pemerintahan yang gagal dan sistim politik yang terbangun dengan salah sekarang ini hampir dibilang tidak akan menghasilkan apapun yang berarti. Dukungan politik yang efektif hanya dapat kita peroleh bilamana pemilu 2009 menghasilkan parlemen yang kuat dan pemerintahan yang bersih dan mempunyai komitmen yang tinggi atas agenda reformasi. Kesempatan kita karenanya ada pada suatu pintu sangat sempit yang terbuka dan cepat akan tertutup kembali. Bilamana pemilu 2009 gagal menghasilkan parlemen dan pemerintahan demikian, maka sirnalah harapan kita untuk menghasilkan perubahan berarti dalam lima tahun kedepan. Perubahan politik ada ditangan rakyat pemilih, dan menjadi tugas kita bersama menyelenggarakan pemilu yang menghasilkan parlemen dan pemerintahan demikian. 

 

Keempat, kesalahan terbesar gerakan LSM adalah mengantarkan kita semua ke pintu gerbang reformasi, tetapi tidak memasuki lapangan pelaksanaan reformasi (baca: melakukan tugas teknis yang rumit, berpolitik, dan berjuang mengawasi perubahan itu terjadi depa demi depa di tingkat pembuatan kebijakan detail dan aturan pelaksanaan, dan memastikan dan mengawasi agar perubahan internal setiap institusi benar-benar terjadi).

 

Kelima, kita sering kali berada pada jalur etika independensi kelembagaan, yang memaksa kita menghargai independensi lembaga lain, yang di situasi normal menunjukkan adanya sikap kenegarawanan yang terhormat. Eksekutif menghargai kuasa lembaga yudikatif yang bebas. Yudikatif menghargai peran legislatif yang bebas merancang kebijakan publik. Legislatif tidak akan campur tangan dalam pemberian keputusan proses yudikatif. Dalam suasana reformasi, etika tersebut perlu ditempatkan dalam posisinya yang tepat, artinya perubahan membutuhkan campur tangan yang perlu. Justru etika yang benar adalah sikap yang mau tahu dan mau menolong lembaga lain yang kesulitan melakukan reformasi. Legislatif perlu campur tangan untuk melahirkan kebijakan yang memungkinkan eksekutif dan yudikatif direformasi dengan cepat, efektif dan sesuai dengan agenda reformasi nasional. Eksekutif perlu campur tangan untuk mereformasi birokrasi di dalam lembaga yudikatif dan legislatif, misalnya merestrukturisasi kelembagaan, memperbaiki sistim keuangan dan akuntabilitasnya, memperbaiki sistim remunerasi dan rekrutmen, meningkatkan sistim teknologi informasi dan transparansi manajemen, dan sebagainya. Demikian sebailknya.

 

Keenam, sekali lagi kita terpaksa mengakui bahwa kelemahan terbesar kita dalam proses reformasi adalah masalah kepemimpinan. Selalu perlu ada champion dalam proses perubahan. Menteri Keuangan/Pelaksana Menko Ekonomi dan KPK bersama memimpin reformasi birokrasi dengan percontohan atau modeling di Departemen Keuangan, Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan. Kepemimpinan tersebut memang cukup efektif, tetapi tidak cukup karena kurangnya kewenangan dan penghargaan berlebihan pada etika kebebasan kelembagaan tersebut. Perlu pemimpin yang dengan sedikit tangan besi mengkoordinir dan  memaksakan semua proses perubahan berjalan, dan kewenangan itu hanya ada di puncak-puncak pimpinan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kesemuanya, sayang sekali, tidak menunjukkan kepemimpinan yang dibutuhkan untuk melakukan proses perubahan yang berarti.

 

Tahun baru 2009 memaksa kita melakukan kontemplasi atau perenungan dalam atas apa yang sudah dan akan kita lakukan ke depan. Perenungan penting untuk dilakukan sesaat saja. Perenungan berkepanjangan adalah tindakan sia-sia dan menanam sembilu di dada sendiri. Kita tidak hanya merenung di ujung tahun. Kita telah merenung panjang selama sepuluh tahun ini. Waktunya untuk bangun dan bertindak, kadang dengan risiko tinggi, kadang dengan biaya sangat mahal, seringkali menjadikan kita dimusuhi dan tidak populer.  Tahun 2009 adalah saat penting bagi kita untuk berbuat. Bila kita terlena, kita berada dalam kehidupan yang penuh dengan kesia-siaan yang sulit untuk dimaafkan.

 

Ats, hcmc, desember 2008   

Media pun memunculkan hal yang serupa dalam skala yang lebih besar, dunia dengan semua persoalannya, sekaligus proyeksi dan ramalan ke depan mengenai nasib kita, dunia dan segala isinya, seolah kita, makhluk penuh kesalahan ini, layak disebut maha tahu karena sok tahu tentang apa yang akan terjadi, padahal istilah itu hanya boleh melekat sebagai salah satu nama Allah SWT. Krisis ekonomi global sekarang, yang dibandingkan setingkat dengan the great depression yang juga dimulai di Amerika tahun tigapuluhan di abad yang lalu, sudah diramal oleh sedikit orang. Sayang, oleh pemerintah, bisnis besar, terutama industri enerji, dan kaum mapan lain, orang-orang ini dianggap antipertumbuhan, antikesejahteraan, antikapitalisme, dan hanya orang frustrasi karena tidak kebagian tempat strategis pemerintahan atau swasta. Tempat yang penuh praktek spekulasi politik dan uang. Dan, pada akhirnya membawa dunia ini ke jurang-jurang tajam kesengsaraan ekonomi  dan segala akibat sosial dan kultural.

 

Pemerintahan industrialis tersebut mungkin serupa dengan pihak yang melecehkan para penganut kepercayaan peak oil, peak gas dan segala puncak kelangkaan sumber daya enerji. Mereka mengatakan dunia masih penuh dengan sumber-sumber enerji, temuan-temuan sumber enerji baru segera bermunculan, konversi pangan menjadi enerji terbarukan sedang datang, dan teknologi baru yang memudahkan pencarian enerji segera ditemukan. Kaum awam, penikmat dari pertumbuhan ekonomi, pasar modal dan uang, seperti layaknya masa mengambang lain, cenderung mengikuti debat antara mereka yang bullish dan bearish di pasar uang dan modal, dan juga enerji, dengan sedikit antusiasme ala mentalitas Belanda masih jauh.

 

Tetapi, begitu para pemain ini berkurang hartanya sekitar 40-60% sebagai akibat pasar modal dan pasar uang yang berkontraksi dan menciut drastis, dan semua ekonomi terseret ke jurang yang lebih dalam karena sistimnya yang dirusak, mereka baru tersentak, lebih dalam semangat mencari siapa yang salah telah mengurangi jumlah aset mereka. Padahal selama keuntungan diperoleh dari sistim penuh dengan bubble tersebut, mereka mencoba menyembunyikannya, terutama dari pajak dan kewajiban CSR, dan berupaya melakukan restrukturisasi aset, perencanaan pajak, dan segala muslihat lain. Sah memang, tetapi dari sudut pandang moral dan etika mungkin memerlukan pemaaf yang lumayan besarnya.

 

Begitulah, kita berkontemplasi dari sudut pandang masing-masing. Jarang yang rela melihatnya dari sudut pandang kepentingan orang lain, belum lagi atas nama kemanusiaan, kelangsungan perdamaian dan kesejahteraan umat di bumi seisinya. Sekarang ini mereka yang peduli dengan masalah-masalah besar dunia memfokuskan permasalahan yang mengancam di depan kita dalam tiga kelompok besar, yaitu tiga masalah besar kelangkaan, yang terdiri dari kelangkaan  enerji, pangan dan air. Dari ketiga masalah dasar ini munculah rentetan permasalahan lain. Termasuk ketimpangan distribusi penghasilan, hubungan utara selatan, tingkat pertumbuhan, usia harapan hidup, kesenjangan pendidikan dan kesehatan, kemanusiaan, keadilan, peradaban dan kelangsungan kehidupan yang bermartabat. 

 

Pemerintah dimanapun berkontemplasi bahwa kebijakan yang mereka hasilkan telah diupayakan untuk kesejahteraan masyarakat luas. Selalu ada alasan pemaaf buat kegagalan cetak biru. Alam yang semakin tidak ramah, gejolak ekonomi dunia di luar kendali, kerusuhan regional, konflik horizontal, pengaruh eksternal dan lain-lain. Tidak banyak dipikirkan bahwa sejumlah besar masalah tadi timbul dari kebijakan mereka baik sendiri maupun berjamaah, berupa kebijakan regional maupun global yang mengabaikan tata kelola pemerintahan yan baik. Banyak pula masalah tadi timbul dari pembiaran atas praktek yang salah di dunia usaha atau masyarakat luas, padahal para pemimpin negara punya kuasa dan senjata untuk meluruskan atau menghukum penyimpangan dan pelanggaran tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags: