Buruh dalam Antrian Paritas Creditorium
Fokus

Buruh dalam Antrian Paritas Creditorium

Beralih perhatian dari urusan sepatu ke hal-hal yang berbau hukum bukan pekerjaan mudah. Yang satu lebih mengandalkan fisik, yang lain membutuhkan akal dan musti pintar atur strategi.

Mys
Bacaan 2 Menit

 

Dalam praktek, prinsip paritas creditorium tak selalu menempatkan seluruh kreditor berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) memberi pengecualian. Kreditor pemegang hak istimewa, hipotik, gadai justru harus didahulukan. Tagihan-tagihan mereka tak dimasukkan ke dalam boedel pailit, bahkan seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Tak peduli apakah pemegang hak istimewa itu ‘berkeringat' memperjuangkan hak atau tidak.

 

Muhammad Hafidz, Pelaksana Tugas Kesekretariatan Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia menilai aturan demikian tidak fair dan sangat merugikan pekerja. Sebab, hak buruh untuk didahulukan dalam kepailitan juga dilindungi Undang-Undang. Apalagi hak buruh atas upah tersebut sudah dikuatkan oleh pengadilan. Buruh sangat dirugikan dalam aturan UU Kepailitan, ujarnya.

 

Pembentuk undang-undang sebenarnya sudah melihat perlunya proses kepailitan dan pengurusan harta pailit dijalankan secara fair, termasuk melindungi kepentingan buruh dari aksi sepihak kreditor pemegang hak kebendaan. Ada tiga spirit yang ditegaskan pembentuk UU KPKPU. Pertama, perlunya menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu bersamaan ada beberapa orang kreditor yang menagih piutang. Kedua, menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan kreditor lainnya. Karena itu pula, UU KPKPU menganut asas keadilan, yang mengandung arti mencegah terjadinya kesewenang-wenangan salah satu kreditor terhadap kreditor lain. Ketiga, menghindari adanya kecurangan yang dilakukan kreditor atau debitor.

 

Cara pandang yang selalu mendahulukan kreditor pemegang hak kebendaan dibanding kreditor lain sejatinya bisa menabrak asas keadilan dan prinsip proporsionalitas. Misalkan asset perusahaan pailit tersisa Rp10 miliar, sementara sebuah bank memiliki tagihan hak kebendaan atas perusahaan itu sebesar Rp15 miliar, maka bank dapat mengambil alih dan menjual seluruh boedel pailit. Nasib buruh yang ikut ‘berkeringat' bersama manajemen perusahaan bisa terabaikan. Kalaupun ada ‘upah' yang didahulukan pembayarannya, itu hanya upah kurator.

 

Cara pandang demikian tampaknya harus diubah. Buruh adalah sumber daya manusia yang ikut secara langsung menggerakkan perusahaan. Sementara, kredit yang disalurkan bank, misalnya, belum tentu dipakai sebagai modal atau operasional perusahaan. Bisa saja dipakai pemilik untuk kepentingan lain. Lalu, mengapa bank harus memiliki hak super yang melebihi kreditor-kreditor lain, termasuk buruh?

 

Perlu dicatat bahwa para pembentuk undang-undang bukan saja menginginkan upah buruh dibayar tepat waktu dan sesuai jumlahnya. Pembayaran upah buruh juga harus dilindungi. Setidaknya spirit demikian tercermin dari Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Pada tataran religi, spirit yang sama juga tercermin: Bayarlah upah buruh sebelum kering keringat mereka.

 

Saat ini, Hafidz dan kawan-kawan mencoba menempuh upaya hukum lain, memohon kepada hakim Mahkamah Konstitusi untuk melihat posisi buruh dalam antrian paritas creditorium itu dari perspektif UUD 1945. Siapa tahu masih ada celah bagi kaum pekerja maju ke urutan awal antrian di sela-sela disharmoni peraturan perundang-undangan itu.

 

Setidaknya, Hafidz dan kawan-kawan tak berpangku tangan. Sebagai buruh, mereka memang harus berjuang agar hak-hak mereka atas upah dipenuhi secara adil. Dengan upaya hukum itu, Hafidz menjalankan nasihat Barbara Kate Repa dalam bukunya Your Right in the Workplace (2000). Saran Barbara: your first step in enforcing your right to be paid fairly should be to decide whether your complaint involves a violation of law.

 

Tags: