Buruh Minta MK Cabut UU Pengampunan Pajak
Utama

Buruh Minta MK Cabut UU Pengampunan Pajak

Majelis meminta Pemohon mempertajam uraian kerugian konstitusional dan alasan permohonan.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Demo buruh tolak upah murah. Foto Ilustrasi: RES
Demo buruh tolak upah murah. Foto Ilustrasi: RES
Di tengah pro kontra dan kebingungan sebagian warga, Mahkamah Konstitusi mulai menggelar sidang   Sidang perdana digelar atas permohonan kalangan buruh, yakni permohonan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI),     Kebijakan itu dinilai menciderai rasa keadilan. “UU Pengampunan Pajak telah menciderai rasa keadilan buruh sebagai pembayar pajak yang taat. Namun,     “Penegakan hukum dibarter atau digadaikan dengan uang tebusan yang sangat rendah demi mengejar pertumbuhan ekonomi (guna menutup defisit anggaran) yang tak pernah menguntungkan buruh,” dalihnya.   Ketidakadilan kaum buruh semakin terasa, ketika Pemerintah menerbitkan  

“Upah yang rendah, buruh juga harus bayar pajak PPh 21 yang kalau terlambat dibayar akan dikenai sanksi dan denda,” Basrizal di hadapan Majelis Panel yang dipimpin Anwar Usman.

Karena itu, Para Pemohon meminta MK mengabulkan permohonan ini menghapus pasal-pasal yang dimohonkan pengujian. “Menyatakan Pasal 1 ayat (1), Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan UUD 1945, karena itu tidak mempunyai kekuatan mengikat,” sebutnya dalam petitum permohonan.

Anggota Majelis I Dewa Gede Palguna meminta agar para pemohon memperjelas kedudukan hukum dalam permohonan. Sebab, meski sebagai badan hukum, kerugian hukum yang dialami para Pemohon dinilai belum jelas. “Anda harus menjelaskan terlebih dahulu kedudukan sebagai apa, kualitas sebagai apa permohonan ini. Di sini disebut badan hukum, tetapi hak konstitusional apa yang dirugikan sebagai badan hukum?” kritik Palguna.

Menurut Palguna, alasan permohonan terlalu bersifat sosiologis dan belum menggambarkan kerugian konstitusional yang dialami para pemohon sebagai badan hukum. “Ini yang mesti diperbaiki dengan mempertajam uraian kerugian konstitusional dan alasan permohonan, sehingga pada kesimpulan pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD 1945. Argumen ini yang harus dibangun dalam pokok permohonan,” sarannya.

Sebelumnya, MK telah menyidangkan UU Pengampunan Pajak yang dimohonkan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Samsul Hidayat, dan Abdul Kodir Jaelani (Pemohon I); Pengurus Yayasan Satu Keadilan (YSK) (Pemohon II); dan Leni Indrawati Dkk (Pemohon III).Ketiganya, menguji konstitusionalitas Pasal 1 ayat (1) dan (7); Pasal 3 ayat (1); Pasal 4; Pasal 5; Pasal 11 ayat (2), (3), dan (5); Pasal 19; Pasal 21 ayat (1) dan (2), Pasal 21 ayat (2); Pasal 22; dan Pasal 23.

Inti ketiga permohonan ini hampir serupa yakni pasal-pasal tersebut dinilai diskriminatif, merusak sistem perpajakan, potensial melegalkan praktik pencucian uang dan merusak sistem penegakkan hukum yang bertentangan dengan UUD 1945. Seperti, Pasal 1 ayat (1), (7), misalnya. Ada kebijakan penghapusan pajak terhutang dengan membayar uang tebusan bervariasi, sehingga pengemplang pajak terbebas sanksi administrasi dan pidana.

UU Pengampunan Pajak ini dinilai menggeser sistem perpajakan yang bersifat memaksa menjadi kompromis yang bertentangan dengan Pasal 23 A UUD 1945 dan bersifat diskriminasi antara warga negara yang taat pajak dan tidak taat pajak. Karena itu, keinginan para Pemohon satu suara meminta MK membatalkan UU Pengampunan Pajak karena secara nyata bertentangan dengan UUD 1945. Atau beberapa pasal yang dimohonkan pengujian itu dimaknai secara bersyarat (inkonstitusional bersyarat). Kini, nasib tiga permohonan ini tinggal menunggu keputusan Rapat Permusyawarahan Hakim (RPH) apakah dilanjutkan ke sidang pleno atau langsung diputuskan.
uji materiUU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak terhadap UUD 1945. Mahkamah telah menerima sejumlah permohonan judicial review atas Undang-Undang Tax Amnesty tersebut.

dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI). Mereka mempersoalkan Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, Pasal 23 UU Pengampunan Pajak.

Para pemohon meminta MK menghapus atau mencabut pasal-pasal itu lantaran secara umum berlakunya UU Pengampunan Pajak dinilai menggadaikan hukum dan menciderai rasa keadilan kalangan buruh yang jumlah sekitar 44 juta buruh formal dan 100 juta lebih buruh informal. Buruh sudah membayar PPh 21 saat menerima upah. Lewat UU Pengampunan Pajak, pengusaha yang selama ini menghindari pajak justru diampuni.

Pemerintah malah memberi kemudahan bagi pengusaha yang selama ini menyimpan uang dan harta di luar negeri,” ujar Kuasa Hukum Pemohon, Basrizal, di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Rabu (31/8).

Ditegaskan Basrizal, UU Pengampunan Pajak secara jelas menyebutkan para pengusaha pengemplang pajak diampuni melalui pembebasan dari sanksi administrasi atau pidana. Pemohon menilai kebijakan semacam itu bertentangan dengan Pasal 23 A, Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.



PP No. 78 Tahun 2015tentang Pengupahan yang mengembalikan rezim upah murah dan menghilangkan hak berunding serikat buruh untuk menentukan besarnya upah minimum. Dari data ILO, upah rata-rata buruh Indonesia hanya AS$174/bulan lebih rendah dibandingkan Vietnam AS$181, Thailand AS$357, Philipina AS$206, dan Malaysia AS$506.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait