Butuh Pengaturan yang Jelas Soal PKWT dan Outsourcing
Berita

Butuh Pengaturan yang Jelas Soal PKWT dan Outsourcing

LWG mendesak pihak Depnakertrans untuk menerbitkan peraturan/keputusan menteri tenaga kerja yang mengatur pembatasan soal pekerja kontrak dan outsourcing.

ASh
Bacaan 2 Menit
Butuh Pengaturan yang Jelas Soal PKWT dan <i>Outsourcing</i>
Hukumonline

 

Pengawasan mandul

Terkait soal maraknya pelanggaran praktek pekerjaan kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak dan outsourcing, Eman Suherman dari FSBI memaparkan fakta hampir 90 persen pekerja manufaktur di Majalaya Bandung dikontrak hanya 1-3 bulan. Dari mulai personalia sampai tukang sapu semuanya dikontrak, ini tak ada jaminan sama sekali dan melenceng dari aturan, kata Eman. Padahal Kepmenaketrans sudah membatasi pekerjaan yang bisa dikontrak. Disnakertrans juga tahu. 

 

Meski ketentuan outsourcing membatasi hanya untuk jenis pekerjaan penunjang, namun fakta  di lapangan pengusaha justru dengan seenaknya merekrut pegawai kontrak yang dilegalisasi aparat pengawasan provinsi/kabupaten dengan membayar Rp15 ribu per orang. Menurutnya pelanggaran atas ketentuan itu merupakan kewajiban aparat pengawasan Disnakertrans. Cukup pengusaha bayar Rp15 ribu per orang, dia (pengusaha, red) punya legalitas untuk mengontrak. Jadi fungsi kontrol ini sama sekali mandul, katanya. 

 

Menurutnya sebagus apapun UU, jika tak ada kontrol yang baik dari Disnakertrans bagaimana mungkin pelaksanaan UU soal PKWT atau outsourcing bisa ditegakkan. Ini fakta, begitu masuk ke Disnakertrans, wah gak bisa ini kan kontraknya habis, ujar Eman menirukan ucapan yang kerap diucapkan aparat pengawas Disnakertrans.                       

 

Kesulitan

Menanggapi hal itu, Myra mengakui tak ada petunjuk pelaksana soal pengaturan PKWT dan outsourcing. Namun pihaknya sudah mengeluarkan Kepmenakertrans yang memberikan gambaran secara umum alur produksi yang bisa menunjukkan mana pekerjaan yang core bussiness , mana yang tidak. Namun jika jenis pekerjaan pokok dan penunjang ingin diseragamkan/dikelompokkan kesulitannya berapa banyak kegiatan usaha di seluruh Indonesia. 

 

Apa kita mau mengelompokkan satu per satu mana core dan noncore karena di setiap kegiatan usaha noncore mesti ada core-nya atau sebaliknya. Misalnya perusahaan pabrik kacang goreng kegiatan core-nya disitu ada plastiknya, ada yang gorengnya, ada kacangnya. Itu tak dilakukan sendiri oleh perusahaan kacang goreng itu, jelas Myra.

 

Sebetulnya point-nya, kata Myra, bagaimana pekerja yang di-outsource ataupun yang tidak mendapatkan perlindungan dari perusahaan. Pasalnya, merupakan hal yang lumrah semua pekerja ingin mendapatkan job security. Persoalannya, terkait soal upah pihaknya tak bisa mengatur lewat kepmenakertrans, kecuali lewat undang-undang (UU). Hal ini kembali pada perjanjian antara pekerja dan pengusaha. Jika kita membuat aturan seseorang yang di-PKWT harus lebih tinggi upahnya, dasarnya apa kita membuat itu, kata Myra mempertanyakan. 

 

Direktur Kelembagaan dan Pemasyarakatan Hubungan Industrial, Andi Syahrul Pangeran menambahkan jika perusahaan melanggar aturan PKWT atau outsourcing yang diatur UU, maka hal itu hak pekerja untuk mempermasalahkan lewat bipartit, mediasi, atau lewat pengadilan. Jadi dibutuhkan keaktifan dari pekerja atau serikat pekerja untuk mengadvokasi itu jika dilanggar haknya, katanya.     

 

Ia menyarankan agar pihak pekerja tak melulu menyalahkan petugas pengawasan Depnakertrans. Namun harus melihat terlebih dulu mana yang bersifat keperdataan atau pidana. Jika masuk pidana ada aparat pengawasan yang menegakkannya atau aparat pengawas hanya bisa menjelaskan hak-hak pekerja, tetapi yang memperjuangkan haknya adalah siapa yang dilanggar haknya.       

 

Meski demikian, Myra berjanji apa yang diusulkan akan disampaikan ke Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Nanti akan disampaikan ke Bapak Menteri, imbuhnya.

Sejauh ini belum ada pengaturan teknis yang jelas soal pekerja kontrak atau outsourcing, khususnya mengenai jenis pekerjaan apa saja yang termasuk pekerjaan pokok (core bussiness) dan bersifat penunjang (noncore bussiness). Pernyataan itu disampaikan Program Officer Labour Working Group (LWG), Odie Hudiyanto saat beraudiensi dengan Dirjen PHI dan Jamsostek, Myra M. Hanartani dan beberapa jajaran pejabat eselon II Depnakertrans, di Jakarta, Jum'at (14/8).

 

Odie tak sendiri, ia didampingi beberapa perwakilan dari beberapa organisasi dan federasi serikat pekerja lain. Diantaranya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Federasi BUMN Strategis, Federasi Serikat Pekerja Media Independen, Gaspermindo, dan Federasi Serikat Buruh Independen (FSBI).  

 

Menurut Odie, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya mengatur jenis pekerjaan yang bersifat pokok dan penunjang tanpa merinci secara jelas mana yang termasuk jenis pekerjaan pokok dan penunjang. Hal itu menimbulkan banyak persoalan dalam praktek. Akibatnya, pihak pengusaha outsourcing kerap memaksakan untuk memborongkan hampir semua jenis pekerjaan ke perusahaan pengguna tenaga kerja. 

 

Sistem outsourcing dalam konteks hubungan kerja pun, lanjut Odie, perlu diperjelas. Pasalnya, selama ini ada semacam ketidaktegasan dengan siapa buruh mempunyai hubungan kerja.      Penegasan itu bisa diwujudkan lewat hubungan kerja yang bersifat tanggung renteng (co-employment relation), baik perusahaan penyedia maupun pengguna memiliki hubungan kerja dengan pekerja sendiri, jelasnya.         

 

Untuk itu, pihaknya mengusulkan Depnakertrans untuk menerbitkan peraturan Menteri Tenaga Kerja yang mengatur beberapa hal. Pertama, jenis pekerjaan apa saja yang dapat dikontrak atau di-outsource yang perumusannya hasil kesepakatan serikat pekerja dan organisasi pengusaha. Kedua, agar upah pekerja kontrak atau outsourcing harus lebih tinggi dari pekerja tetap untuk menjamin pekerja jika kontraknya tak diperpanjang. Ketiga, hak perlindungan pekerja kontrak atau pekerja yang di-outsource minimal sama dengan pekerja yang tak di-outsource.        

Tags: