Calon Hakim Agung Ini Bicara Kendala Eksekusi Perkara Perdata
Terbaru

Calon Hakim Agung Ini Bicara Kendala Eksekusi Perkara Perdata

Haswandi mengusulkan agar MA membuat unit khusus setingkat eselon dua di bawah kepanteraan MA, khususnya pelaksanaan eksekusi di pengadilan seluruh Indonesia dan diperkuat dengan pembentukan police justice untuk pengamanan proses eksekusi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Calon Hakim Agung Haswandi saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR di Komplek Gedung Parlemen, Senin (20/9/2021). Foto: RFQ
Calon Hakim Agung Haswandi saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR di Komplek Gedung Parlemen, Senin (20/9/2021). Foto: RFQ

Sulitnya pengadilan melakukan eksekusi putusan atas objek perkara perdata yang telah berkekuatan hukum terus menjadi persoalan. Karena itu, diusulkan pembentukan unit khusus di Mahkamah Agung (MA) agar pelaksanaan eksekusi objek perkara perdata yang berkekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan.

“MA perlu membuat unit kerja di bawah Kepaniteraan khusus menangani pelaksanaan eksekusi di seluruh pengadilan di Indonesia,” usul Calon Hakim Agung Haswandi dalam makalahnya saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR di Komplek Gedung Parlemen, Senin (20/9/2021). (Baca Juga: 11 Calon Hakim Agung Bakal Jalani Uji Kelayakan di DPR)

Dalam paparannya, Panitera Muda Perdata Khusus MA ini menilai ketidakberhasilan dalam eksekusi putusan yang berkekuatan hukum tetap disebabkan faktor kondisi di lapangan, putusan pengadilan tak bersifat condemnatoir, namun bersifat deklaratoir atau konstitutif. Selain itu, proses beracara yang panjang menyebabkan terkendalanya pelaksanaan eksekusi. Seperti ada keberatan dari pihak berperkara/pihak ketiga yang bertujuan mengulur waktu atau menggagalkan pelaksanaan eksekusi.

“Meski hukum acara perdata menegaskan perlawanan tidak menghalangi pelaksanaan eksekusi, tapi realitanya banyak ketua pengadilan yang tak berani melaksanakan eksekusi putusan objek perkara dengan alasan mengedepankan asas kehati-hatian,” ujarnya.  

Tak hanya itu, terdapat kendala bersifat eksternal yang menghambat pelaksanaan eksekusi. Seperti penguasaan objek perkara eksekusi oleh pihak tertentu yang dikoordinir oleh pihak termohon eksekusi. Oleh karena itu, dibutuhkan jumlah petugas keamanan yang cukup untuk mengamankan objek perkara dan petugas pengadilan dari pihak tertentu. “Kenyataanya, protap dan pemahaman yang tidak sama antara petugas keamanan dan petugas pengadilan,” kata dia.

Untuk itu, Haswandi mengusulkan agar MA membuat unit khusus setingkat eselon dua di bawah kepanteraan MA, khususnya dalam pelaksanaan eksekusi di pengadilan seluruh Indonesia. Harapannya, pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan perdata tak melulu menjadi beban ketua pengadilan. Ketua pengadilan agar lebih fokus pada persoalan teknis dan manajemen perkara.

Namun demikian, keberadaan unit khusus tersebut tetap harus diperkuat dengan pembentukan police justice. Fungsinya sebagai pengaman pelaksanaan eksekusi di bawah Polri. Sekaligus berfungsi sebagai pengamanan sarana dan prasarana pengadilan serta persidangan di pengadilan. MA perlu mendorong pemerintah dan DPR agar melakukan revisi UU terkait. Atau mungkin membuat peraturan perundangan-undangan yang baru untuk mengakomodir pembentukan unit khusus dan police justice agar upaya pelaksanaan eksekusi menjadi lebih maksimal.”

“Sekaligus memuat sanksi tegas terhadap pihak-pihak yang tidak berpekara yang menghalang-halangi pelaksanaan ekesekusi. MA juga perlu membuat petunjuk teknis pelaksanaan eksekusi dengan memperhatikan kendala-kendala ekternal dan internal serta mengadakan nota kesepahaman dengan instansi terkait.”

Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir menilai gagasan yang dilontarkan Haswandi menjadi sebuah terobosan bila diterapkan. Sebab Adies pun mengakui banyaknya kasus perdata yang telah terdapat putusan berkekuatan hukum tetap tak dapat dieksekusi pengadilan. Menurutnya, sudah terdapat aturan pelaksanaan eksekusi, tapi penerapannya tak maksimal. Makanya diperlukan unit khusus.

Anggota Komisi III DPR Hinca Panjaitan melanjutkan banyak putusan perkara berstatus inkracht van gewijsde gagal dieksekusi pengadilan dengan beragam alasan/sebab. Dia menganalogikan seperti pertandingan sepak bola. Terdapat 3 peristiwa yang dinanti publik. Pertama, ketika gol tercetak, wasit meniup pluit. Kedua, ketika waktu pertandingan habis waktunya, wasit meniup pluit. Ketiga, saat pemberian piala, terkendala. Alhasil pemberian hadiah tak dapat diberikan kepada pihak pemenang.

Terhadap gagasan Haswandi ini, Hinca mengapresiasi sebagai terobosan. Menurutnya, sebelum mengubah peraturan perundangan yang ada, diharapkan meminta MA agar membentuk unit khusus di bawah Kepaniteraan Perdata MA. “Kami menaruh harapan besar jika Anda terpilih dapat menyelesaikan putusan kasus-kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap dapat diselesaikan,” ujar politisi Partai Demokrat itu.

Angota Komisi III Habiburokhman tergoda memperdalam gagasan yang disodorkan Haswandi. Menurutnya, konsep tersebut perlu diperdalam agar implementasinya dapat diterapkan secara optimal. “Konsep Anda soal pelaksanaan eksekusi ini, bagiamana?”

Ketua pengadilan tak boleh rangkap

Menanggapi beragam pertanyaan anggota dewan, Haswandi mengurai soal beban kerja fungsi dan tugas ketua pengadilan cukup besar. Dalam hukum acara perdata disebutkan eksekusi menjadi kewenangan ketua pengadilan. Sementara dalam praktik, ketua pengadilan memiliki kewenangan dan tugas yang banyak.

Mulai persoalan pembinaan teknis, manajemen perkara, zona integritas, akreditasi, reformasi birokrasi yang kesemuanya bertumpu pada pimpinan pengadilan. Bahkan ditambah pula berkaitan tugas eksekusi. Dampaknya, seorang ketua pengadilan di pengadilan secara praktik tidak fokus dalam tugas-tugasya. “Ini kita harus perbaiki sistemnya,” kata dia.

Dalam sistem hukum acara perdata, gagasan ini menjadi bagian perubahan hukum acara perdata yang sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. Dalam kode etik, hakim tak boleh merangkap eksekutor. Laranga ini juga termuat dalam UU No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Tapi kenyataanya, ketua pengadilan adalah hakim dan dalam hukum acara perdata dia juga eksekutor. Jadi, kontradiktif antara peraturan satu dengan lainnya. Ini ke depan kita harus perbaiki. Ketua pengadilan karena berkaitan eksekusi berkaitan masalah berat sebaiknya tidak usah diberikan ke ketua pengadilan lagi. Tapi dibuat unit khusus. Teknisnya, setelah dibentuk unit khusus tersebut, nantinya dapat direkrut hakim-hakim senior yang dapat menelaah dan mengkaji mendalam masalah tersebut.”  

Terkait police justice, praktik di lapangan pengamanan menjadi rumit. Kendati pengadilan telah berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan disiapkan satuan pasukan khusus, namun di hari yang sama terjadi kerusuhan atau demonstrasi. Alhasil, pasukan yang diperuntukan pengamanan pelaksanaan eksekusi ditarik menanggulangi keadaan tiba-tiba tersebut. Akibatnya, pelaksanaan eksekusi batal dilaksanakan.

Menurutnya, keberadaan police justice yang khusus menangani pengamanan pelaksanaan eksekusi dan kepentingan peradilan menjadi lebih pasti. Secara teknis, pasukan police justice bisa berada di bawah MA, Polres, atau Polda. Terpenting konsepnya adanya unit khusus dan police justice. “Ketika membutuhkan pengamanan tinggal datang. Jadi unit ini hanya menangani masalah eksekusi putusan pengadilan perdata,” kata mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu.

Tags:

Berita Terkait