Calon Miliki Kemampuan Melobi Pejabat
Seleksi Hakim Konstitusi

Calon Miliki Kemampuan Melobi Pejabat

Dari sekian gelar yang disandangnya, calon mengaku akan tetap menekuni dunia praktisi hukum.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Calon Miliki Kemampuan Melobi Pejabat
Hukumonline
Kemampuan melakukan lobi terhadap seorang pejabat di dunia birokrasi merupakan hal biasa. Namun, berbeda halnya dengan kemampuan melobi di bidang peradilan yang justru jadi pertanyaan. Hal ini dialami Franz Antani dalam uji kepatutan dan kelayakan calon hakim konstitusi, Selasa (4/3).

Franz Antani merupakan seorang praktisi notaris dan akademisi di sebuah perguruan tinggi. Dalam curiculum vitae Franz dicantumkan kemampuan melobi pejabat Indonesia. Kemampuan melobi yang dimiliki Franz justru menjadi bumerang dan dipertanyakan oleh tim pakar.

Tim pakar di Komisi III DPR yang melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap menilai ada yang janggal dengan kemampuan Franz tersebut. Soalnya, seorang hakim harus independen dan tidak boleh melakukan lobi. Adalah Andi Matalata, anggota tim pakar yang melontarkan pertanyaan hal tersebut kepada Frans.

Andi mengatakan, dalam seleksi calon hakim konstitusi, tim pakar harus mengetahui jejak rekam para calon. “Rekam jejak itu bisa dilihat di CV. Nah di CV ini, anda menulis kalau anda mempunyai kemampuan lobi yang bagus kepada pejabat Indonesia. Apa betul?,” ujarnya.

Mantan Menteri Hukum dan HAM itu khawatir jika kemampuan melobi itu disalahgunakan Franz jika terpilih menjadi hakim konstitusi. Terlebih, Mahkamah Konstitusi hancur pasca ditetapkannya Akil Mochtar –saat itu Ketua Mahkamah Konstitusi aktif- sebagai tersangaka dalam kasus dugaan korupsi. Makanya, Andi melakukan konfirmasi kepada calon perihal benar tidaknya kemampuan melobi sebagaimana tertulis dalam CV Franz.

Menanggapi pertanyaan Andi, Franz membenarkan kemampuan yang dimilikinya. Dikatakan Franz, ia  dalam keadaan sadar mencantumkan kemampuan melobi dalam CV. Kemampuan melobi yang dimiliki merupakan keahlian di masa lalu. Dia mengakui bagi hakim konstitusi kemampuan melobi memang kurang bermanfaat. Namun, secara pendekatan kelembagaan akan bermanfaat.

Franz mengaku menggunakan kemampuannya itu hanya secara umum, tidak secara khusus. Apalagi, ia tak hanya sebagai notaris, tetapi menjabat direktur di sebuah perusahaan otomotif besar. “Ini areanya berbeda. Dalam hakim konstitusi itu kurang bermanfaat, tapi kalau untuk kelembagaan itu bermanfaat,” ujarnya.

Andi Matalata kembali tergelitik dengan  jawaban Franz. Seharusnya kemampuan yang dimiliki dicantumkan dalam CV tidaklah terlampau berlebihan. Misalnya, kemampuan yang berkaitan dengan hakim konstitusi, bukan sebaliknya kemampuan melobi.

“Kenapa yang dicantumkan lobi pejabat? Kenapa anda membanggakan diri punya ability untuk melobi pejabat. Jangan-jangan anda ingin jadi hakim MK untuk lobi-lobi putusan?,” cecarnya.

Hal lainnya adalah delapan gelar yang disandang Franz. Mulai dari Dr, Ir, SH. M.Kn, SE, MBA, MM, Msi dan CPM disematkan dalam namanya. Anggota tim pakar Prof Saldi Isra mengaku heran dengan sederet gelar yang disandang Franz. Menurutnya, perlu spesialisasi terhadap gelar yang disandang seseorang.

“Dari gelar anda itu, bagaimana anda mau menspesifikasi. Anta mau akademisi atau praktisi?,” tanya Saldi.

Senada, anggota Komisi III Bambang Soesatyo menngaku kagum dengan sembilan gelar akademik yang disematkan pada Franz. Bambang menilai Franz teramat narsis dengan gelar. “Apakah motif gelar ini untuk pencapaian hakim konstitusi atau untuk tujuan lain. Ini penting untuk dijelaskan agar kita tahu soal kenegarawanan,” ujarnya.

Dikatakan Franz, deretan gelar yang disandang semata-mata karena keilmuan yang ditempuhnya. Menurutnya, menempuh pendidikan dengan berbagai latar belakang keilmuan menjadi panggilan jiwa. Itu sebabnya, ia ingin berikan contoh kepada generasi muda agar tetap mengedepankan pendidikan.

Farnz mengakui, sebanyak apapun gelar, persentase kemampuan melakukan pendekatan hanya dua puluh persen. Sisanya merupakan kemampuan keilmuan pendidikan yang ditempuhnya.  Meski sembilan gelar telah disadangnya, toh Franz tetap bersikukuh untuk menekuni dunia praktisi hukum.

“Pentingnya untuk menambah aset pengetahuan keilmuan yang berbeda. Ekonomi kalau ditinjau dari hukum akan sempurna,” pungkas pria yang mendapat gelar doktor ilmu hukum Universitas Katolik Parahiyangan Bandung itu.
Tags:

Berita Terkait