Dimyati Dicecar Seputar Kasus Hukum
Seleksi Hakim Konstitusi

Dimyati Dicecar Seputar Kasus Hukum

Sempat kewalahan menjawab pertanyaan tim pakar.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Politisi PPP Ahmad Dimyati Natakusuma (tengah). Foto: RES
Politisi PPP Ahmad Dimyati Natakusuma (tengah). Foto: RES
Calon hakim konstitusi Ahmad Dimyati Natakusuma menjalani uji wawancara oleh sejumlah tim pakar dan Komisi III DPR, Senin (3/3). Dalam uji wawancara, Dimyati dicecar seputar permasalah hukum yang pernah dialaminya saat menjabat sebagai Bupati Pandeglang, Banten.

“Terlalu banyak penolakan terhadap anda, apalagi kasus hukum yang pernah mendera anda,” ujar anggota Tim Pakar seleksi, Husni Umar di ruang Komisi III Gedung DPR, Senin (3/3).

Untuk diketahui, Dimyati sempat terseret dua kasus pidana. Pertama kasus dugaan pidana korupsi Bank Jawa Barat. Kedua, kasus dugaan pelecehan terhadap anak di bawah umur. Pasalnya, Dimyati diduga menikahi seorang pelajar SMA yang berujung tak diakui sebagai istrinya. “Bagaimana anda mengklarifikasi,” kata Husni.

Dimyati juga dicecar seputar sejumlah UU yang dibuat DPR. Namun, Dimyati menjelaskan, sebagai anggota dewan, ia telah menghasilkan dan menyusun puluhan UU.

Namun menurut Husni, UU yang dibuat DPR cenderung lebih pro asing. Bukan menjadi rahasia umum sejumlah UU produk DPR dilakukan uji materi oleh sejumlah pihak. “Dimana tanggungjawab anda,” katanya.

Anggota tim pakar lainnya Syafii Maarif menambahkan, masyarakat alergi terhadap politisi. Apalagi politisi yang mencalonkan diri menjadi hakim konstitusi. Menurutnya, masyarakat rauma dengan apa yang telah dilakukan Akil Mochtar –mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, yang juga mantan politisi-.

“Publik agak alergi dengan politisi yang menjadi hakim konstitusi. Apakah anda sudah bosan jadi politisi, dan apakah dengan misalnya anda masuk maka MK akan lebih baik,” ujar pria sepuh yang biasa disapa Buya itu.

Lauddin Marsuni, anggota tim pakar lainnya menambahkan seorang hakim konstitusi haruslah seorang negarawan. Menurutnya, seorang negarawan tidak menyusahkan negara, khususnya KPU. Pasalnya, Dimyati selain mencalonkan hakim konstitusi juga mencalonkan diri menjadi anggota legislatif periode 2014-2019.

Menurutnya, jika terpilih menjadi hakim konstitusi, maka suara Dimyati di Dapilnya bukan tidak mungkin akan menjadi persoalan baru bagi penyelenggara pemilu. Setidaknya menyisakan persoalan baru. “Kalau anda terpilih, suara anda mau dikemanakan?. Berarti menimbulkan masalah. Negarawan itu tidak menimbulkan masalah,” katanya.

Menanggapi sejumlah pertanyaan dari anggota tim pakar, Dimyati yang juga politisi PPP itu menyatakan bahwa persoalan hukum yang menderanya telah usai. Dia mengaku tak pernah berdamai dengan aparat hukum terkait dua kasus pidana tersebut. Sebaliknya, kata Dimyati, persoalan hukum itu harus diteruskan hingga berkekuatan hukum tetap. Hal itu dilakukan agar tidak menggantung nasib seseorang.

Dimyati mengatakan, ia tak akan mendaftar sebagai calon hakim konstitusi jika memiliki persoalan hukum. “Saya berani mendaftar karena saya tidak bermasalah. Saya ingin membuktikan politisi itu baik. Maka hakim konstitusi harus negarawan mementingkan bangsa dan negara,” katanya.

Dimyati yang tercatat sebagai anggota Komisi III DPR itu mengakui bahwa banyak janji politisi saat berkampanye tidak terealisasi setelah terpilih menjadi anggota dewan. Begitu pula janji Capres dan Cagub saat berkampanye. Ia berjanji akan memperbaiki lembaga konstitusi yang terpuruk jika terpilih menjadi hakim konstitusi.

Kewalahan
Dalam ruang komisi III, Dimyati sempat kewalahan meladeni sejumlah cecaran pertanyaan anggota tim pakar lainnya. Adalah Prof Natabaya yang melontarkan pertanyaan perihal Undang-Undang Sementara 1950 yang tak mengatur uji materi. “Kenapa UUS 1950 tidak mengenal judicial review,” ujarnya.

Dimyati sempat terdiam. Dengan terbata, Dimyati menjawab, “Karena tahun 1950 belum ada MK’. Sontak pengunjung ruang Komisi III sempat melontarkan tawa.

“Bukan itu, saya ingin tahu pengusaan wawasan tatanegara anda,. Bisa jawab tidak?” kata Natabaya.

Natabaya yang mantan hakim konstitusi itu melanjutkan pertanyaan. “Lebih besar mana antara negara dan konstitusi,” kata Natabaya.

Dimyati menimpali, “Negara, karena terdiri dari tanah air”. Mendengar jawaban yang keuar dari mulut Dimyati, sontak Natabaya angkat bicara. Menurutnya, negara terdiri dari tiga hal, yakni rakyat, pemerintah dan undang-undang. “Nah konstitusi itu ada di dalam Undang-Undang, begitu penjelasaanya,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait