Capres Harus Punya Iktikad Selesaikan Konflik Agraria
Berita

Capres Harus Punya Iktikad Selesaikan Konflik Agraria

Entitas negara banyak terlibat dalam konflik agraria dan sumber daya alam.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Capres Harus Punya Iktikad Selesaikan Konflik Agraria
Hukumonline
Hiruk pikuk pesta demokrasi semakin membahana. Bahkan, pemilihan legislatif saja belum digelar, tetapi gaung pemilihan presiden sudah menggema. Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) berharap, presiden yang nanti terpilih dapat membawa solusi atas konflik agraria dan sumber daya alam.

Andiko Sutan Mancayo, Direktur Eksekutif HuMa, mengeluhkan visi misi yang disampaikan calon presiden masih belum menjawab harapan itu. Ia mengatakan, belum ada tawaran solusi yang disampaikan partai politik dan calon presiden untuk menyelesaikan konflik agraria. Oleh karena itu, Andiko menilai kampanye menjelang Pemilu 2014 sangat jauh dari harapan publik.

“Pesan-pesan kampanye yang disampaikan oleh partai politik dan atau bakal calon presiden belum menujukan tawaran jalan keluar yang substansial bagi bangsa ini, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di 33.000 desa di sekitar kawasan hutan,” tutur Andiko di Jakarta, Selasa (25/3).

Lebih lanjut Andiko mengatakan, konflik agraria sudah makin menggila. HuMa mencatat, telah terjadi 278 konflik sumber daya alam dan agraria sepanjang tahun lalu. Konflik itu terjadi secara merata di hampir semua provinsi di Indonesia. Luas  area konflik mencapai hampir 2.5 juta hektar.

HuMa mengidentifikasi entitas negara banyak terlibat dalam konflik-konflik itu. Dari enam pelaku dominan, tercatat tiga lembaga negara dan dua perusahaan milik negara yang sering berhadapan dengan masyarakat. Enam pihak yang berulang kali terlibat dalam konflik agraria adalah TNI, Kementerian Kehutanan, Pemerintah Daerah, Perhutani, PT Perkebunan Nusantara, dan beberapa perusahaan swasta.

Dari banyaknya konflik yang terjadi, menurut laporan HuMa, lebih dari separuh pelanggaran HAM justru dilakukan entitas negara. Selebihnya, sekitar 35% kasus dilakukan oleh perusahaan swasta. Bentuk pelanggaran HAM paling sering dalam pembatasan akses terhadap sumber daya alam dan kebebasan.

“Entitas negara juga sering melakukan serangan terhadap integritas pribadi, pelanggaran hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, bahkan tak jarang pelanggaran hak atas hidup,” kata Andiko.

Menurut aktivis Institut Hijau Indonesia, Chalid Muhammad, presiden terpilih nanti menjadi harapan terakhir untuk menyelesaikan konflik-konflik itu. Ia berpendapat bahwa presiden yang baru terpilih nanti harus melakukan tinjauan mendalam, baik secara horizontal maupun vertikal terhadap peraturan dan perizinan terkait lingkungan hidup yang sudah ada.

Selain itu, harus memiliki iktikad baik yang bulat untuk melakukan resolusi konflik pengelolaan sumber daya dan ketimpangan agraria.

“Calon presiden hendaknya memiliki keinginan yang kuat untuk mewujudkan kepentingan rakyat berbasis hak dan mampu mengembangkan model ekonomi berkelanjutan. Indonesia butuh presiden yang cerdas dan kuat, tidak hanya bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam. Di masa depan, kita akan berangkat dari model ekonomi yang sustain dan ramah lingkungan," katanya.

Ray Rangkuti, Pengamat Politik Lingkar Madani menilai, sudah saatnya partai politik dan bakal calon presiden menghentian kampanye yang tanpa makna dan cenderung menimbulkan apatisme bagi rakyat.

Menurut Ray, kampanye harus mengedepankan tawaran jalan keluar terhadap problematika bangsa secara lebih substantif. Ia menyebut, sebaiknya kampanye menjelang pemilu juga memberi tawaran jalan keluar terhadap konflik agraria yang telah berlangsung lama dan cenderung menyengsarakan orang kampung.

“Kegiatan kampanye model panggung hiburan menambah kosongnya debat-debat visioner partai poltik yg memang sudah terasa sejak awal sepi dari diskusi subtansi kebangsaan. Harusnya jika ada panggung kampanye atau izin untuk kampanye yang ternyata prakteknya lebih banyak didominasi kegiatan-kegiatan yang tidak terkait dengan penyampaian visi-misi dan program, sebaiknya kegiatan itu dihentikan oleh Bawaslu atau KPU,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait