Isu Lingkungan Hidup Minim di Perdebatan Pemilu
Berita

Isu Lingkungan Hidup Minim di Perdebatan Pemilu

Korupsi di sektor sumber daya alam bukan hanya merugikan negara, tapi juga menurunkan kualitas hidup masyarakat

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Isu Lingkungan Hidup Minim di Perdebatan Pemilu
Hukumonline
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, telah terjadi berbagai peristiwa bencana ekologis yang mengindikasikan secara kuat krisis ekologis sepanjang tahun 2013. Menurut Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Abetnego Tarigan, peristiwa tersebut sekaligus menjadi penghancuran sumber-sumber penghidupan rakyat.

Abet mendorong penguatan kampanye isu lingkungan hidup sebagai isu yang harus menjadi pembahasan dalam perdebatan-perdebatan Pemilu 2014 dan menjadi basis argumentasi dan membangun persepsi publik dalam menggunakan hak politiknya. Namun kenyataannya, sampai saat ini isu lingkungan hidup belum terlihat dari kampanye-kampanye yang dilakukan oleh ke-12 partai politik.

“Di tahun ini, elit politik sudah bersiap untuk sibuk dengan urusan kekuasaan dan agenda-agenda rakyat. Namun, isu lingkungan hidup ini belum terlihat. Tahun 2014 merupakan tahun tantangan dan ancaman bagi rakyat,” kata Abet saat menyampaikan environmental outlook di Jakarta, Rabu (15/1).

Sebagai organisasi lingkungan hidup, Walhi merasa memiliki kepentingan terhadap momentun Pemilu 2014. Soalnya, hasil pemilu ini akan menentukan siapa legislator dan pemimpin yang bakal menghasilkan produk politik. Pemilu kali ini juga menentukan nasib lingkungan hidup dan sumber kehidupan rakyat.

Abet melihat vonis terhadap Hartati Murdaya dalam kasus Buol pada tahun lalu menyiratkan elit politik tidak berelasi dengan krisis yang dialami oleh rakyat. Namun, satu vonis itu baru puncak gunung es korupsi di sektor sumber daya alam. Walhi mencatat, selama kurun waktu 2013 ini, sedikitnya ada 52 perusahaan yang menjadi pelaku berbagai konflik lingkungan, sumber daya alam dan agraria.

“Angka-angka ini menunjukkan bahwa industri ekstrakif seperti tambang dan perkebunan sawit skala besar merupakan predator puncak ekologis,” tuturnya.

Selain itu, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menyebutkan ada 15 temuan yang dilakukan 22 perusahaan di Kalimantan Tengah, Riau, Maluku Utara, dan Papua Barat. Di empat provinsi tersebut, perusahaan menambang dan ekspolorasi sampai eksploitasi di kawasan hutan tanpa izin. Bahkan, tidak ada izin pinjam pakai kawasan hutan.

“Total nilai kerugian negara dalam penyimpangan tersebut sekitar Rp 100 miliar,” ujar Abet.

Menurutnya, korupsi di sektor sumber daya alam bukan hanya merugikan negara, tapijuga menurunkan kualitas hidup masyarakat akibat kerusakan lingkungan hidup. Pasalnya, praktik buruk industri ekstraktif menimbulkan kerugian sosial akibat migrasi terpaksa. Belum lagi banyaknya konflik yang terjadi dan berujung pada kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan dan bahkan hingga kematian.

“Kekerasan dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan dan agraria mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 angka ini naik menjadi 227 kasus konflik lingkungan yang berujung pada angka kekerasan dan kriminalisasi terhadap para pejuang lingkungan dan HAM di Indonesia. Padahal tahun lalu cuma 147 kasus,” ujar Nissa Wargadipura dari Sekolah Ekologi Garut.

Menurut Nissa, bisnis dan kewajiban atas penegakan hak asasi manusia sesungguhnya telah dimulai dalam diskursus hak asasi manusia. Ia menjabarkan, pelaku bisnis atau aktor non negara lainnya dalam melakukan praktik bisnisnya tidak boleh merusak lingkungan, tidak boleh menyuap, terlebih melanggar hak hidup. Namun ia menyayangkan, apa yang terjadi justru sering kali sebaliknya.
Tags:

Berita Terkait