Dampak Brexit Bagi Law Firm di Inggris
Berita

Dampak Brexit Bagi Law Firm di Inggris

Lewat berbagai metode, law firm-law fim besar di Inggris mengakali dan mengantisipasi tumpukan pertanyaan yang masuk.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Foto: corbettreport.com
Foto: corbettreport.com
Inggris memutuskan untuk tidak lagi menjadi bagian dari Uni Eropa. Tepatnya tanggal 24 Juni 2016, sebagian rakyat Inggris yang menginginkan agar negaranya menarik diri dari keanggotaan Uni Eropa memenangkan referendum Brexit atau Britain’s Exit dengan perolehan 17 juta suara.

Keputusan pemerintah Inggris untuk mengikuti hasil referendum ini tentunya mendatangkan reaksi yang cukup heboh dari berbagai kalangan. Salah satunya dari para pebisnis yang memiliki usaha di negara yang dikenal dengan sebutan The Black Country ini. Law firm di Inggris, yang membantu mengurusi persoalan hukum mereka pun harus kerepotan menghadapi pertanyaan dari kliennya.

Lewat berbagai metode, law firm-law fim besar di Inggris mengakali dan mengantisipasi tumpukan pertanyaan yang masuk. Mereka menjamin dan memberitahu klien mereka mengenai situasi pasca Brexit dengan menyediakan briefing paper, melakukan conference call, membuka layanan hotline, dan berbagai cara lain.

Baker McKenzie misalnya, mendedikasikan satu halaman khusus tentang Brexit dengan briefing paper yang memuat jawaban atas pertanyaan yang paling umum ditanyakan (frequently asked question). Allen & Overy juga menyediakan satu halaman khusus yang memberikan 22 tautan yang berisi makalah mengenai subjek yang berkaitan dengan kegiatan bisnis kliennya.

Sementara layanan tanya-jawab 24 jam disediakan oleh Clifford Chance seketika setelah pengumuman Brexit. Begitu pun Simons & Simons membuka saluran hotline di hari yang sama dan menciptakan microsite Brexit yang mencakup podcast, opini hukum, dan daftar lawyer yang tergabung khusus untuk menjawab pertanyaan mengenai Brexit.

Partner pada Simons & Simons law firm, Charles Bankes, mengatakan bahwa kesulitan yang dialami saat ini yaitu karena belum ada kepastian hukum seputar berbagai kegiatan seperti merger dan akuisisi serta kegiatan-kegiatan lainnya yang berkaitan dengan keluarnya Inggris dari kelompok ini.

Mengapa demikian? Bankes menjelaskan bahwa sejak bergabung di tahun 1973 hingga saat ini, hukum yang digunakan oleh Inggris adalah hukum yang dibentuk oleh Uni Eropa. Termasuk di dalamnya hukum yang mengatur mengenai ketenagakerjaan, persaingan usaha, perdagangan, dan lingkungan.

“Hukum yang digunakan selama ini adalah hukum Uni Eropa. Maka dari itu, sekarang parlemen Inggris harus memutuskan apakah akan mempertahankan hukum tersebut adat menggantinya sepenuhnya,” ujar Bankes sebagaimana disarikan dari artikel yang dilansir oleh ABAjournal.

Sumber hukum ini lah yang menurut Bankes harus segera ada kejelasannya. Terlebih dalam masa transisi seperti sekarang ini. “Tidak pernah ada yang terlalu peduli mengenai sumber hukum selama ini karena tidak ada bayangan bahwa Inggris akan meninggalkan Uni Eropa. Namun, sekarang terkait sumber hukum ini menjadi penting,” tukas Bankes.

Untuk diketahui, meski sudah menyatakan diri untuk berpisah dari Uni Eropa, namun Inggris belum dapat dikatakan telah resmi keluar. Hal ini disebabkan oleh ketentuan mengenai proses keluarnya anggota yang diatur lewat The Lisbon Treaty (Traktat Lisbon) yang mengikat Inggris.

Dalam Pasal 50 Traktat Lisbon, disebutkan bahwa bila suatu negara ingin mengundurkan diri dari keanggotaannya, maka wajib bagi mereka untuk memberikan notifikasi kepada Dewan Uni Eropa. Negara tersebut memiliki waktu selama dua tahun untuk melakukan negosiasi dengan dewan dan menetapkan syarat atas penarikan dirinya.

“Hal ini (ketentuan atas penarikan diri negara anggota) perlu disimpulkan demi kepentingan Uni Eropa, oleh anggota dewan yang bertindak sebagai suara terbanyak setelah memperoleh persetujuan dari Parlemen Uni Eropa,” begitu penggalan aturan yang mengatur mengenai penarikan diri anggota Uni Eropa, yang diterjemahkan secara bebas.
Tags:

Berita Terkait