Dapatkah Perusahaan Asuransi Dipailitkan?
Kolom

Dapatkah Perusahaan Asuransi Dipailitkan?

Asuransi ataupun pertanggungan adalah perjanjian atau kontrak antara para pihak yang sepakat. Salah satu pihak bertindak sebagai penanggung dan pihak lain bertindak sebagai tertanggung. Maka dalam hal perjanjian secara umum, berlakulah ketentuan-ketentuan tentang hukum perjanjian yang terdapat dalam buku III KUH Perdata, selain ketentuan-ketentuan yang lebih spesifik tentang perjanjian asuransi itu sendiri dalam Buku I Bab IX KUHD.

Bacaan 2 Menit
Dapatkah Perusahaan Asuransi Dipailitkan?
Hukumonline

Definisi asuransi dicantumkan dalam Pasal 246 KUHD, dan lebih lengkap lagi didefinisikan dalam Ketentuan Umum pasal 1 ayat 1 UU no 2 tahun 1992 (UU Asuransi) sebagai berikut:

"Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seorang yang dipertanggungkan."

Dari sudut hukum perjanjian, suatu kontrak dinyatakan sah apabila kontrak tersebut telah memenuhi ketentuan pasal 1320 KUH Perdata. Adanya "kesepakatan" yang merupakan salah satu syarat dari sahnya suatu kontrak tersebut dalam perjanjian asuransi secara lebih khusus diatur dalam pasal 257 KUH Dagang yang menyatakan bahwa perjanjian asuransi antara penanggung dan tertanggung telah terjadi dan mengikat kedua belah pihak (lihat pasal 1338 KUH Perdata) seketika setelah perjanjian tersebut ditutup.

Dan biasanya, bentuk tertulis dari perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk polis. Akan tetapi, polis tidak mutlak merupakan bukti telah ditutupnya asuransi. Karena bila polis tersebut terlambat atau belum diterbitkan pada saat sesuatu terjadi pada tertanggung, tertanggung tetap dapat meminta asuransi tersebut untuk menanggung kerugian tersebut berdasarkan kontrak asuransi yang telah sah.

Wan prestasi

Berdasarkan pada pengertian utang-piutang yang luas, segala bentuk wan prestasi (breach of contract) terhadap suatu kontrak, akan segera mendudukkan pihak yang dirugikan oleh akibat wan prestasi tersebut sebagai kreditur dan pihak yang dirugikan sebagai debitur.

Artinya, dalam pengertian perjanjian pertanggungan, apabila si penanggung tidak memenuhi kewajibannya, ketika syarat yang disepakati dalam perjanjian asuransi tersebut telah terjadi, maka fakta hukum ini akan segera mendudukkan si tertanggung sebagai kreditur dan si asuransi (penanggung) sebagai debitur. Oleh karena itu secara teori, kreditur tersebut dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit atas perusahaan asuransi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagai penanggung tersebut untuk dipailitkan ke Pengadilan Niaga.

Adanya kata kunci "wan prestasi" harus dihubungkan dengan kekhususan pada Pasal 6 ayat 3 UUK yang menyatakan bahwa proses pembuktian adanya utang seperti yang disyaratkan pasal 1 ayat 1 UUK tersebut haruslah dilakukan secara sederhana (sumir).

Itu berarti bahwa tidak semua bentuk ketidakmauan ataupun ketidaksetujuan dari perusahaan asuransi untuk mengganti rugi si tertanggung atas peristiwa atau kerugian yang telah dipertanggungkan dapat segera dikategorikan pada kriteria wan prestasi yang segera dapat dibawa ke Pengadilan Niaga. Artinya, haruslah terlebih dahulu dibuktikan apakah tidak dibayarnya klaim asuransi tersebut karena pihak asuransi melalaikan kewajibannya atau karena kesalahan yang berasal dari si tertanggung itu sendiri.

Misalnya, si tertanggung melaporkan nilai yang tidak sebenarnya dari benda yang diasuransikan, atau si tertanggung sengaja membakar objek yang diasuransikan terhadap resiko kebakaran, ataupun pihak asuransi tersebut tidak dapat segera melakukan pembayaran sampai investigasi yang dilakukan untuk meneliti kebenaran dan jumlah kerugian yang diderita tertanggung selesai. Hal tersebut tentunya memerlukan pembuktian untuk melihat siapa dari kedua pihak yang sebenarnya wan prestasi.

Bila proses pembuktian atas dugaan wan prestasi tersebut rumit, maka kasus tersebut harus terlebih dahulu diselesaikan di pengadilan biasa. Pasalnya, pengadilan niaga tidak berwenang untuk memeriksa dan memutuskan hal tersebut. Setelah itu, baru putusannya dipakai untuk mempailitkan pihak yang dinyatakan pengadilan wan prestasi tersebut apabila pihak yang bersalah tersebut tidak mau membayar ganti rugi plus bunga seperti yang telah diputuskan oleh pengadilan.

Apabila tindakan ingkar janji dari pihak asuransi tersebut dapat secara mudah atau secara sederhana dibuktikan, maka hal inilah yang dapat menjadi dasar permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi tersebut di Pengadilan Niaga menurut pasal 6 ayat 3 UUK tersebut.

Misalnya perusahaan asuransi tersebut tidak mampu mengganti rugi kerugian yang diderita oleh si tertanggung. Padahal telah di-cover dalam perjanjian asuransi tersebut, baik itu karena perusahaan asuransi tersebut tidak mereasuransikan resiko yang terlalu besar yang telah ditutupnya dengan si tertanggung, ataupun diakibatkan terlambatnya pihak asuransi mereasuransikan asuransi tersebut, ataupun perusahaan asuransi memang ingin lari dari kewajibannya.

Perusahaan asuransi tidak kebal pailit

Secara teori, hadirnya pasal 20 UU. no. 2 tahun 1992 tidak mempunyai pengertian bahwa perusahaan asuransi dikecualikan terhadap keberlakuan dari UUK. Pasal tersebut hanya menggambarkan tentang kewenangan dari Menteri Keuangan untuk mengambil tindakan terhadap perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya, demi kepentingan umum, ataupun nasabah-nasabah dari asuransi tersebut.

Malah dengan tegas dalam ayat 1 dari pasal 20 tersebut dimulai dengan kalimat: "Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam UUKepailitan,..." Artinya, tindakan menteri tersebut tidak bertentangan dengan UUK sepanjang tidak ada pihak yang memohonkan pailit terhadap badan hukum yang telah dicabut izin usahanya pada saat permohonan Menteri Keuangan itu diajukan.

Sehubungan dengan hal di atas,  argumentasi pengacara Asuransi Jasa Indonesia, dalam kasus Chinatrust Commercial Bank lawan PT Asuransi Jasa Indonesia (persero), yang berpendapat bahwa suatu perusahaan asuransi tidak dapat dipailitkan berdasarkan pasal  20 UU No. 2 tahun 1992 adalah tidak tepat. Perusahaan asuransi dapat dimohonkan pailit selama perusahaan tersebut mempunyai utang labih dari satu, di mana salah satu dari utang tersebut telah jatuh tempo dan harus dibayar (pasal 1 ayat 1 UUK).

Kegiatan badan hukum usaha asuransi

Alasan untuk mempailitkan suatu perusahaan asuransi tidak semata-mata didasarkan pada persoalan hukum asuransi saja. Akan tetapi, juga dapat disebabkan oleh kegiatan badan hukum yang menjalankan kegiatan asuransi tersebut.

Misalnya, dalam upaya penambahan modal perusahaan tersebut meminjam uang ke bank, atau investor, ataupun perusahaan tersebut menerbitkan promissory notes, atau perusahaan tersebut memberikan penjaminan (corporate guarantee agreement) terhadap utang pihak lain, ataupun anak perusahaannya.

Sejak mulai diberlakukannya UUK sampai saat ini, tidak semua kasus gugatan pailit dari pihak tertanggung diajukan dengan alasan atas tidak dibayarnya klaim asuransi yang telah disepakati seperti yang terjadi dalam kasus Keluarga Tanuhandaru melawan PT. Asuransi Jiwa Manulife.

Ada beberapa permohonan pailit yang didasarkan pada variasi produk penjaminan (surety bond) sebagai bentuk penjaminan yang dilakukan Asuransi terhadap pihak ketiga, misalnya pada kasus Chinatrust Commercial Bank (CCB) lawan PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) (AJI) no: 55/Pailit/1999/PN.Niaga/Jkt.Pst.

CCB mengajukan permohonan pailit terhadap AJI dalam kedudukannya sebagai corporate guarantor terhadap surat sanggup atas bawa yang dikeluarkan oleh PT Tripatria Citra Sarana. Sedangkan pada kasus Frederik Rachmat H.S. (Federik) lawan PT Wataka General Insurance (WGI), WGI bertindak sebagai guarantor terhadap kewajiban PT Cipeles Harum Sentosa kepada pemohon Pailit.

Dalam kedua kasus di atas, terdapat kesamaan. Kedua perusahaan asuransi tersebut bertindak sebagai corporate guarantor terhadap promissory notes ataupun surety bond yang diterbitkan oleh si debitur utama. Dalam perjanjian penanggungan utang tersebut (guarantee agreement), kedua perusahaan asuransi yang digugat pailit tersebut di atas sama sama melepaskan hak privilege-nya.

Hal ini diatur dalam pasal 1831, 1833,1837, 1847, 1849 melalui ketentuan pasal 1832 yang menyatakan bahwa apabila si debitur utama tidak dapat melaksanakan kewajibannya atau membayar utang yang telah jatuh tempo tersebut, si kreditur dapat langsung menagihnya kepada si guarantor (guarantor langsung duduk sebagai debitur utama) tanpa harus membuktikan bahwa si kreditur telah melakukan upaya maksimal untuk menagih pembayaran utang tersebut dari si debitur utama sebelumnya.

Kasus personal guarantor maupun corporate guarantor yang telah melepaskan hak-hak istimewanya dalam pasal-pasal tersebut di atas, dapat menjadi alasan hukum yang kuat bagi kreditur untuk langsung mengejar pembayaran kepada guarantor atas ketida mampuan debitur utama untuk melunasi utang utang yang dijamin oleh guarantor pembayarannya tersebut.

Memang dalam perkara perdata di pengadilan negeri hal tersebut belum jelas. Tapi sikap pengadilan niaga untuk langsung meletakkan guarantor sebagai debitur utama, sudah bukan menjadi perdebatan yang sulit lagi.

Dalam beberapa kasus, seperti PT Bank Artha Graha dan PT Panin Bank melawan Cheng Basuki dan Afen Siswoyo, kedua termohon tersebut adalah personal guarantor yang telah melepaskan hak-hak istimewanya dan Pengadilan Niaga setuju untuk langsung mendudukkan mereka sebagai debitur. Begitu juga dalam kasus Bank Credit Lyonasse lawan PT. Sanjaya, di mana personal guarantee-nya dinyatakan pailit.

Revisi UU No.4 tahun 1998, tidakkah sebaiknya upaya permohonan pailit pada perusahaan asuransi diajukan melalui Depertemen Keuangan? Pertanyaan ini lebih ditujukan untuk mengajak para pembuat UU Kepailitan untuk merenungkan kembali bagimana sebaiknya tata cara pengajuan pailit terhadap perusahaan asuransi diajukan. Hal ini sehubungan dengan adanya perlakuan khusus yang diberikan UU terhadap bank dan perusahaan sekuritas, seperti yang diatur dalam Pasal 1 ayat 3 clan 4 UUK.

Dasar pertimbangan dari para pembuat undang-undang untuk memberikan perlakuan khusus bagi bank dlan perusahaan sekuritas, antara lain karena kedua lembaga keuangan tersebut adalah lembaga yang aktif menyerap dana dari masyarakat luas. Sehingga, pemberian hak bagi kreditur untuk dapat memohonkan pailit secara langsung bagi kedua jenis lembaga tersebut, akan memberi pengaruh yang buruk pada stabilitas moneter dan stabilitas pembangunan serta stabilitas publik.

Praktik curang

Pemberian hak bagi perusahaan asuransi untuk tidak dapat dipailitkan secara langsung oleh krediturnya, tidak berarti akan membuat perusahaan asuransi dapat berbuat seenaknya terhadap para tertanggung atau nasabahnya. Akan tetapi, hal itu lebih dimaksudkan untuk menempatkan persoalan yang mungkin terjadi antara perusahaan asuransi dengan nasabahnya pada tatacara pemeriksaan yang lebih akurat.

Hal ini mengingat bisnis asuransi tersebut juga mempunyai ciri-ciri ataupun perhitungan-perhitungan yang berbeda dengan kasus-kasus lainnya. Selain itu, hal itu juga akan memberikan ketenteraman bagi pemegang polis den calon pemegang polis lainnya, serta peran perusahaan asuransi tersebut untuk secara aktif dan positif membantu pertumbuhan ekonomi den stabilitas den kesejahteraan masyarakat.

Dengan tidak menutup mata bahwa ada perusahaan asuransi yang sengaja melakukan praktek-praktek curang dan nakal yang menimbulkan kerugian dalam masyarakat, pihak Departemen Keuangan haruslah konsekuen dan jujur dalam melakukan pengawasan den pembinaan, serta juga penjatuhan hukuman pada perusahaan-perusahaan asuransi tersebut.

Bab IX dari UU Asuransi tentang "Pembinaan dan Pengawasan" serta juga Bab X tetang "Kepailitan don Likuidasi" haruslah mampu memberikan perlindungan yang seimbang antara kepentingan perusahaan pertanggungan dengan kepentingan, keamanan, dan kepastian hak-hak si tertanggung atas kesepakatan asuransi tersebut.

Wewenang Departemen Keuangan untuk memberi peringatan pada perusahaan asuransi yang nakal, sampai pada pencabutan ijin usaha haruslah suatu hal yang lebih diarahkan pada kepentingan masyarakat secara umum dan pemegang polis secara khusus.

Langkah pembinaan

Sebenarnya, bila langkah-langkah pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Departemen Keuangan tersebut dilaksanakan secara baik, hal tersebut akan memunculkan perusahaan-perusahaan asuransi yang credible, termasuk perusahaan reasuransi ataupun pihak-pihak yang terkait.

Bilapun masih ada konflik yang harus mengarah pada upaya menyatakan pailit perusahaan asuransi yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya tersebut, paling tidak hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan konflik antara perusahaan asuransi atas tidak dibayarkannya piutang dari pihak pemohon pailit tersebut dapat diperiksa terlebih dahulu sebelum Depertemen Keuangan mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi tersebut ke Pengadilan Niaga.

Bila kasus itu memang telah sumir terbukti merupakan kewajiban yang haru dibayarkan oleh pihak asuransi, maka upaya paksa dari Departemen Keuangan agar perusahaan asuransi tersebut membayar kewajibannya tersebut akan lebih efektif menjaga hak si pemohon pailit (claimer) dari pada harus buru- buru mempailitkan, yang sebenarnya secara otomatis juga akan mempengaruhi hak orang lain untuk mendapat kepastian perlindungan asuransi.

Kecuali bila kewajiban yang secara sederhana itu masih tetap tidak dibayarkan oleh pihak asuransi, maka memutuskan perusahaan tersebut pailit di Pengadilan Niaga dengan menggunakan Pasal 6 ayat 3 adalah keputusan yang harus dikabulkan dari pada perusahaan asuransi tersebut menimbulkan kerugian lebih lanjut luas pada pihak nasabah atau konsumen lainnya.

 

Ricardo Simanjuntak adalah praktisi hukum, pemerhati masalah kepailitan

 

Artikel ini merupakan cuplikan dari makalah penulis pada saat HUT Dewan Asuransi Indonesia ke-44 di Jakarta

Tags: