Debt Collector Persoalkan Aturan Eksekusi Jaminan Fidusia
Berita

Debt Collector Persoalkan Aturan Eksekusi Jaminan Fidusia

Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Kuasa Pemohon Dora Nina Lumban Gaol dalam sidng pengujian UU Jaminan Fidusia secara daring di Ruang Sidang MK, Selasa (20/4/2021). Foto: Humas MK
Kuasa Pemohon Dora Nina Lumban Gaol dalam sidng pengujian UU Jaminan Fidusia secara daring di Ruang Sidang MK, Selasa (20/4/2021). Foto: Humas MK

Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (20/4/2021). Pemohon Perkara Nomor 2/PUU-XIX/2021 ini adalah Joshua Michael Djami yang hadir dalam persidangan secara daring.

Joshua Michael Djami (Pemohon) melakukan pengujian materiil Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia yang menyebutkan, “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Selain itu Pemohon menguji Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia yang menyatakan, “Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan "kekuatan eksekutorial" adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.”

Di awal persidangan, Dora Nina Lumban Gaol selaku kuasa Pemohon, mengungkapkan bahwa Pemohon bekerja di perusahaan finance dengan jabatan kolektor internal dan telah bersertifikasi profesi bidang penagihan. Pemohon mengalami berbagai kesulitan semenjak ditafsirkannya undang-undang dalam perkara tersebut. Permasalahan-permasalahan yang muncul, di antaranya berkurangnya pendapatan hingga sulitnya melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia akibat pemberi hak fidusia (debitur) kerap kali mengelak.

“Pengujian undang-undang dalam perkara a quo sangat erat kaitannya dengan permasalahan penanganan dan regulasi eksekusi objek jaminan fidusia yang melibatkan kolektor, dalam hal regulasi, sumber daya tenaga manusia, maupun prosedur dan pengaturannya. Pemohon adalah kolektor yang bekerja di bidang penagihan dan eksekusi agunan, menjadi suatu kenyataan bahwa Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo,” kata Dora dalam persidangan sebagaimana dikutip laman MK.

Bagi Pemohon, perkara ini sangat berdampak terhadap berbagai pihak. Misalnya, perusahaan pembiayaan, aparat penegak hukum, konsumen maupun asosiasi kolektor. Mengingat putusan MK adalah erga omnes, Pemohon dengan sangat meminta permohonan provisi agar sidang dilakukan hingga tahap pembuktian, tidak langsung putusan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 54 UU MK. Lalu, Pemohon dapat memanggil pihak-pihak terdampak untuk menjadi saksi dalam perkara ini atau mengajak mereka menjadi Pihak Terkait.

“Apapun putusannya nanti, setidak-setidaknya rasa keadilan bagi semua pihak akan lebih besar karena sudah didengar keterangannya, dibandingkan diputus tanpa didengar keterangannya,” pintanya.

Tags:

Berita Terkait