Definisi 'Ketertiban Umum' Masih Simpang Siur
Berita

Definisi 'Ketertiban Umum' Masih Simpang Siur

Jakarta,hukumonline Embel-embel "ketertiban umum" hampir ditemukan pada setiap perangkat perundang-undangan di Indonesia. Namun, definisi "ketertiban umum" hingga kini belum jelas alias masih simpang siur.

Leo/Fat/APr
Bacaan 2 Menit

Dalam kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional, ada syarat-syarat limitatif pemberlakuan ketertiban umum. Di antaranya, ketertiban umum harus dipakai seirit mungkin dan hanya digunakan ultimum remedium (jalan terakhir). Dengan kata lain, ketertiban umum hanya berfungsi sebagai tameng dan bukan sebagai pedang. Artinya, ketertiban umum tidak boleh secara aktif digunakan.

Merujuk UU

Luhut Pangaribuan, praktisi hukum, kepada hukumonline berkomentar bahwa untuk menafsirkan ketertiban umum, maka kita harus merujuk pada Undang-Undang atau hukum yang dibuat oleh seorang hakim.

Artinya menurut Luhut, apakah ada putusan hakim atau putusan pengadilan yang mendefinisikan apa yang dimaksud ketertiban umum. "Kita kan menganut sistem hukum tertulis di mana eksekutif yang mencoba menginterpretasikan sesuatu, tidak boleh melewati batasan dari Undang-Undang yang dimaksud," jelas Luhut

Lebih lanjut Luhut menjelaskan bahwa batasan yang universal mengenai ketertiban umum memang tidak ada. "Harus dilihat kasus per kasus," ungkapnya. Ia mencontohkan bahwa dulu pernah ada suatu Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur masalah pertanahan.

Dalam PP itu sudah ada batasan dan panduan definisi ketertiban dan kepentingan umum. Jadi kalau misalnya, ada pembebasan tanah harus dilihat tujuannya dulu. "Kalau untuk jalan raya, pembangunan sarana dan prasarana umum yang artinya untuk kepentingan umum, jadi batasannya jelas," kata Luhut.

Luhut sendiri sangat tidak sependapat pada kasus Bankers Trust di atas. Pasalnya, eksekusi ditunda karena akan mengganggu dan bertentangan dengan ketertiban umum."Eksekusi harus jalan, kecuali ada UU yang menyatakan sebaliknya," cetusnya.

Ia menjelaskan bahwa kalau sudah putusan yang inkraacht (berkekuatan hukum tetap), teorinya eksekusi harus jalan. Kecuali kalau ada UU yang mengatur bahwa ada prosedur tertentu yang harus dipenuhi sebelum eksekusi. Misalnya obyek yang akan dieksekusi milik negara, maka harus ada izin dari Mahkamah Agung.

 

Tags: