Di Hadapan Majelis, Dosen Ini Sebut Pengesahan Revisi MK Tergesa-Gesa
Berita

Di Hadapan Majelis, Dosen Ini Sebut Pengesahan Revisi MK Tergesa-Gesa

Penyusunan dan pembahasan UU 7/2020 ini yang tidak sesuai dengan ketentuan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan uji materi dan formil UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Selasa (24/11/2020). Permohonan ini diajukan oleh Allan Fatchan G.W. yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Dalam uji materinya, Pemohon mendalilkan Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 22, Pasal 23 ayat (1) huruf d, Pasal 26 ayat (1) huruf b, dan Pasal 87 huruf b UU MK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

Mengutip laman MK, Allan menyebutkan beberapa poin perbaikan permohonan diantaranya kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon, dan alasan/argumentasi permohonan. Allan mengatakan dalam hal uji formil UU MK ini, dirinya sebagai warga negara sekaligus pengajar hukum tata negara punya hak pilih dalam pemilihan umum dan memberi mandat secara konstitusional kepada DPR.

Allan merasa dikecewakan dengan penyusunan dan pembahasan UU 7/2020 ini yang tidak sesuai dengan ketentuan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Seharusnya, sambung Allan, tahapan penyusunan norma tersebut harus dilakukan dengan teknik yang diatur dalam norma yang telah ditentukan. 

“UU MK ini benar-benar tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Dalam pembahasannya juga telah dibuktikan beberapa prosedurnya dilakukan dengan tergesa-gesa dan kami tidak bisa mengakses dokumen yang dibutuhkan. Pemohon kecewa dengan produk yang dibuat pembuat undang-undang ini,” ujar Allan dalam persidangan secara virtual. Sidang ini diketuai Wakil Ketua MK Aswanto didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih sebagai anggota Majelis Panel. (Baca Juga: Revisi UU MK Dinilai Syarat Kepentingan Politik)

Terkait dengan alasan/argumentasi permohonan sehubungan dengan kerugian pemohon, Allan mengatakan saat ini dirinya masih berusia 28 tahun dan kelak berpotensi menjadi calon hakim MK saat memasuki usia 47 tahun. Tapi, karena berlakunya Perubahan Ketiga UU MK ini, ia pun harus menunggu lagi hingga 8 tahun berselang untuk dapat mengajukan diri sebagai calon hakim konstitusi.

“Atas dasar itu, pemohon menilai aturan tersebut merugikan hak konstitusionalnya dalam memperoleh perlakuan yang sama dalam pemerintahan, dalam hal ini untuk menjadi calon hakim MK,” ujar Kepala Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII Yogyakarta ini.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Selasa (10/11/2020) lalu, Pemohon menjelaskan kedudukannya sebagai warga negara pembayar pajak memiliki kesungguhan terhadap isu-isu yang berkaitan dengan perkembangan, pelaksanaan tugas dan kewenangan MK, serta penegakan hak konstitusional dan prinsip-prinsip konstitusionalisme UUD 1945.

Menurut pandangan pemohon, proses pembentukan UU MK secara formil telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan terkait tata cara pembentukan undang-undang yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai undang-undang pelaksana dari Pasal 22A UUD 1945. 

Terkait uji materi UU MK, Pemohon menyatakan pada Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK terdapat perubahan kriteria usia dengan menambah dari usia 47 tahun menjadi usia 55 tahun. Menurut Pemohon, hal tersebut tidak memiliki urgensi yang nyata, bahkan alasan menaikkan syarat usia hakim konstitusi tidak dapat ditemukan dalam Naskah Akademik UU MK.

Terlebih lagi, hal tersebut bertentangan dengan Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013. Pembentuk UU justru telah melanggar hak warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum atas ketentuan norma ini. 

Pemohon juga mengungkapkan pasal yang diuji bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 karena sejatinya syarat sebagai hakim konstitusi dalam UUD 1945 terbatas pada harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. (Baca Juga: Dosen Uji Formil UU MK dan Persoalkan Syarat Usia Hakim Konstitusi)

Dengan demikian, kendati seorang warga negara calon hakim konstitusi belum memenuhi ketentuan syarat usia, tapi memenuhi syarat yang termuat dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 1945, calon hakim konstitusi tersebut harus dimaknai telah memiliki hak konstitusional untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi.

“Untuk itu, Pemohon meminta agar MK menyatakan pembentukan UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945.”

Sebelumnya, Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif menilai pengesahan RUU MK sarat kepentingan politik dan menunjukkan kemunduran dalam berkonstitusi. Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan KoDe Inisiatif Violla Reininda dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (2/9/2020) lalu, menyoroti RUU MK disahkan menjadi undang-undang hanya dalam waktu 7 hari kerja yakni dimulai dengan persetujuan pembahasan antara DPR dan pemerintah pada 24 Agustus 2020.

Kemudian pada 26-29 Agustus dilakukan rapat tertutup Panja untuk membahas daftar inventarisasi masalah (DIM). Lalu, pada 31 Agustus 2020 pengesahan RUU MK dalam pembicaraan tingkat I dan pada 1 September 2020 pengesahan RUU MK menjadi undang-undangMenurutnya, UU MK itu bermasalah dari segi prosedur pembentukannya. Sebab, prosesnya sangat cepat dan tertutup, serta tidak partisipatif.  

“Materi muatannya juga tidak substantif dan tidak mendesak karena hanya menekankan masa jabatan hakim konstitusi,” sebutnya. (Baca Juga: Pengujian UU MK Terbaru Bakal Jadi ‘Ujian’ bagi Hakim Konstitusi)

Pengaturan itu diantaranya mengenai penghapusan periodeisasi jabatan hakim konstitusi per lima tahun; perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga usia pensiun (70 tahun); mengubah masa jabatan ketua dan wakil ketua MK dari 2,5 tahun menjadi setiap 5 tahun. Namun, pengaturan tentang jabatan hakim itu tidak dibarengi dengan penguatan pengawasan hakim, pengetatan penegakan kode etik serta penyempurnaan dan penyeragaman standar rekrutmen hakim konstitusi di setiap lembaga pengusul.

Viola menilai semangat draft RUU MK yang ditawarkan DPR dan DIM pemerintah sama saja untuk memberikan “hadiah” buat hakim konstitusi yang sekarang menjadi incumbent. “’Hadiah’ ini bisa ditukar dengan banyak sekali RUU yang kontroversial yang saat ini sedang diujikan,” kata Viola.

Dia merujuk Aturan Peralihan dalam Pasal 87 RUU MK yang menetapkan ketentuan revisi UU MK ini juga berlaku bagi hakim konstitusi yang sekarang menjabat hingga usia 70 tahun. “Jadi hakim-hakim konstitusi ini yang mendapat keuntungan dari perpanjangan masa jabatan, ketua dan wakil ketua MK, perpanjangannya sampai masa pensiun hingga 70 tahun," kata dia.

Bahkan, menurutnya ada hakim yang berpotensi menjabat lebih 15 tahun karena ada hakim MK yang sedang menjalani periode kedua dan di akhir masa jabatannya berusia mencapai 60 tahun, sehingga diperkenankan lagi berlanjut sampai berusia 70 tahun. Adapun RUU kontroversial yang berpotensi untuk ditukar dengan adanya Revisi UU MK di DPR, misalnya RUU KPK yang saat ini sedang diuji di MK.

“Termasuk UU keuangan negara untuk penanganan Covid-19 yang ada pasal yang menghindarkan penyelenggara negara dari jerat UU Tipikor, pengujian UU Minerba, dan potensi diujikan RUU Cipta Kerja jika disahkan menjadi UU,” bebernya.

“Revisi UU MK tersebut syarat kepentingan (politik, red). Apalagi dalam rancangan naskah akademiknya tidak disebutkan kenapa perubahan ini harus dilakukan. Ini adalah kombinasi yang sangat berbahaya, mungkin merasa MK adalah ancaman, jadi kemudian mengajaknya menjadi sekutu.

Tags:

Berita Terkait