Diskriminasi Kerja Kaum Minoritas: Perspektif Perbandingan Hukum
Kolom

Diskriminasi Kerja Kaum Minoritas: Perspektif Perbandingan Hukum

Selain tinjauan dari perspektif norma dasar, kita juga bisa melakukan analisis berdasarkan konsistensi materi yang diatur pasal-pasal lain dalam UU Ketenagakerjaan.

Bacaan 2 Menit

 

Jika Mahkamah Agung nantinya memutuskan perkara-perkara tersebut di atas, maka AS akan memiliki satu referensi yang akan berlaku di seluruh negara untuk masalah diskriminasi kerja karena identitas atau orientasi seksual. Seperti penulis sampaikan di muka, putusan Mahkamah Agung akan sangat dipengaruhi corak pandangan yang dimiliki para hakim agung yang memeriksa perkara. Dalam contoh perkara Obergefell v. Hodges di atas, pandangan liberal yang dimotori oleh Hakim Agung Kennedy lebih mendominasi dibandingkan dengan pandangan yang konservatif, sehingga keluatusan yang menguntungkan kaum LGBT. Namun saat ini kondisinya sedikit berbeda.

 

Pada paruh pertama masa pemerintahannya, Presiden Trump yang berasal dari Partai Republik yang berpandangan konservatif, berkesempatan mengusulkan dua hakim agung. Yang pertama adalah Hakim Agung Gorsuch yang menggantikan Hakim Agung Scalia yang meninggal dunia, dan Hakim Agung Kavanaugh yang menggantikan Hakim Agung Kennedy yang mengundurkan diri. Kedua hakim agung yang baru ini dikenal memiliki pandangan konservatif, sehingga mengubah pendulum di Mahkamah Agung berayun ke arah kubu konservatif. Karena perubahan ini, banyak pengamat yang meramalkan bahwa putusan dalam perkara tersebut di atas akan kurang menguntungkan kaum LGBT.

 

Penulis melihat bahwa adanya dinamika tersebut tidak terlepas dari pandangan utililarianisme yang cukup berpengaruh di Amerika Serikat. Menurut pandangan ini, suatu aturan dianggap adil jika dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang (the greatest benefit for the greatest number). (Bur Rasuanto, Keadilan Sosial – Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal.32). Oleh karena itu jika pandangan konservatif yang dominan, adalah adil jika putusan yang dibuat sesuai dengan aspirasi golongan konservatif. Demikian pula sebaliknya.

 

Sekarang kita kembali ke tanah air, Indonesia juga memiliki ketentuan mengenai larangan diskriminasi kerja, seperti halnya Civil Right Act 1964 Title VII. Ketentuan dimaksud kita temukan dalam Pasal 5 dan 6 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang melarang diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan dan mendapat perlakuan dari perusahaan. Dalam penjelasan pasal-pasal tersebut disebutkan hal-hal yang dilindungi dan tidak boleh menjadi dasar diskriminasi (legally protected interest), yaitu jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik. Seperti halnya di AS, bisa saja ditanyakan apakah terminologi “jenis kelamin” mencakup di dalamnya identitas seksual dan orientasi seksual. Jika iya, maka seorang pekerja tidak dapat di-PHK karena ia berperilaku homoseksual atau lesbian.

 

Menurut penulis kondisinya berbeda, Indonesia tidak menganut paham utilitarianisme, melainkan teori norma dasar dari Hans Kelsen. Teori ini setidak-tidaknya tercermin dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada pokoknya Hans Kelsen mengajarkan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang dan berlapis dalam suatu hierarki. Suatu norma yang lebih tinggi berlaku dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut, yang disebut Norma Dasar (Grundnorm). (Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan – Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Penerbit Kanisius, Jogjakarta, 2007, hal.41). Bagi bangsa Indonesia, yang menjadi norma dasar adalah Pancasila. Hal ini berarti semua peraturan harus bersumber dan dipahami dalam perspektif yang sejalan dengan Pancasila.

 

Satu dari lima nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan atau keagamaan. Agama memiliki pandangannya sendiri terkait perilaku homoseksual dan lesbian ini. Al Qur’an membicarakan perilaku homoseksual ini ketika menceritakan kaum Nabi Luth,  dengan menyebutnya sebagai perbuatan yang keji dan melampaui batas, di mana tidak ada satupun di alam raya yang sebelumnya mengerjakan (QS Al A’raf 80-81).

 

M. Quraish Shihab untuk menafsirkan ayat ini menjelaskan bahwa perilaku homoseksual dianggap perbuatan keji dan tidak dibenarkan dalam kondisi apapun. Pembunuhan, masih dapat dibenarkan dalam keadaan membela diri. Hubungan seks dengan lawan jenis dalam keadaan syubhat, bukan karena zina, dalam batas tertentu juga masih dapat ditoleransi. Tetapi homoseksual, sama sekali tidak ada jalan untuk membenarkannya. (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah – Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, PT Lentera Hati, Tangerang, 2016, hal.190).

Tags:

Berita Terkait