Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyatakan adanya praktik ‘bisnis’ Surat Izin Praktik (SIP) dokter dan Surat Tanda Registrasi (STR) perlu ditelusuri dan didalami. Tak main-main, keuntungan yang diraup mencapai Rp430 miliar dalam kurun satu tahun. Selain itu, agar mendapat izin terdapat sejumlah persyaratan lain termasuk 250 Satuan Kredit Partisipasi (SKP). Sementara untuk mendapatkan SKP, diperlukan biaya yang tidak sedikit.
Anggota Komisi IX Saleh Partaonan Daulay menilai masyarakat selama ini boleh jadi tak mengetahui banyak soal STR dan SIP kedokteran. Bahkan DPR pun tak mengetahui secara detil mekanisme penerbitan STR maupun SIP. Karenanya, peran Menkes menjadi penting dalam upaya menyuarakan secara terbuka praktik bisnis penerbitan STR dan SIP.
Dia menilai, izin praktik dan tanda registrasi yang mahal ini berimplikasi luas. Setidaknya di hilir bakal menyebabkan biaya pelayanan kesehatan yang tinggi. Walhasil, pasien pun dibebankan dengan pembayaran biaya kesehatan yang sedemikian meroket. Masalah lain, ratusan miliar rupiah yang terkumpul tersebut tidak jelas peruntukannya. Institusi yang mengelola perizinan ini tidak pernah menjelaskan kepada publik.
“Dengan pernyataan Pak Menkes ini, diyakini akan semakin banyak pertanyaan seputar hal itu,” ujarnya kepada hukumonline, Jumat (24/3/2023).
Baca juga:
- RUU Kesehatan Perlu Atur Sistem Informasi Kesehatan
- Pemerintah Susun DIM RUU Kesehatan
- RUU Kesehatan, Reformasi Sektor Kesehatan Menyeluruh
- RUU Kesehatan Dinilai Berpotensi Merugikan Peserta Jamsos
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menilai, instansi terkait yang mengelola SIP dan STR agar menjelaskan ke publik secara gamblang. Klarifikasi menjadi penting agar masyarakat mengetahui apa dasar hukum penetapan biaya penerbitan STR dan SIP. Kemudian mengapa besaran biayanya mencapai angka Rp6 juta. Selanjutnya untuk apa saja uang sebanyak itu, dan siapa pengelolanya, serta bagaimana pertanggungjawabannya. Bahkan pertanyaan lainnya soal apakah ada laporan kepada Kemenkes atau dinas kesehatan.
“Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab. Dengan begitu, tidak muncul kecurigaan tidak perlu di tengah masyarakat. Pelayan kesehatan dan seluruh ruang lingkupnya haruslah tetap berorientasi pada nilai kemanusiaan. Sedapat mungkin, aspek komersialisasinya harus dihilangkan,” ujarnya.