​​​​​​​Dua Pertanyaan Kunci dalam Penanganan Korupsi di Masa Pandemi
Penataran MAHUPIKI 2021:

​​​​​​​Dua Pertanyaan Kunci dalam Penanganan Korupsi di Masa Pandemi

Transparansi sangat prinsipil dalam pencegahan korupsi anggaran penanganan pandemi.

Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Elwi Danil. Foto: MYS
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Elwi Danil. Foto: MYS

Perbuatan korupsi layak dicela, apalagi jika dilakukan saat bencana seperti Covid-19. Tidak mengherankan jika korupsi yang dilakukan (eks) Menteri Sosial Juliari Batubara, pejabat Kementerian Sosial, dan sejumlah pengusaha mendapat kritik tajam. Sejumlah pihak malah menantang Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengajukan tuntutan hukuman mati. Jualiari akhirnya hanya dituntut 11 tahun, dan dihukum Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat 12 tahun penjara.

Peluang melakukan tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi, selama pandemi Covid-19 ini sebenarnya sangat besar. Dari satu sisi, dalam situasi pandemi, pengawasan agak berkurang; dan di sisi lain anggaran penanganan Covid-19 sangat besar, ratusan triliun rupiah. Belum lagi refocusing anggaran di lembaga-lembaga pusat dan daerah, dan sumbangan pihak ketiga. Proses pengadaan barang/jasa pemerintah diperlonggar. Pengadaan alat-alat kesehatan yang dipergunakan dalam rangka penanganan Covid-19 termasuk yang paling rawan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Elwi Danil, mencontohkan pengadaan masker, hand sanitizer dan alat pelindung diri pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Barat. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan menemukan terjadi kemahalan harga sehingga berpotensi merugikan keuangan negara miliaran rupiah. Kasus ini masuk ke ranah hukum, disidik Polda Sumbar. Juni lalu, penyidik Polda Sumbar akhirnya menghentikan penyidikan kasus kasus ini karena pihak penyedia mengembalikan uang negara ke kas daerah sesuai rekomendasi BPK. Penyidik beralasan tidak ditemukan kerugian negara.

Sehubungan dengan kasus dugaan korupsi di masa pandemi semacam itu, menurut Danil, ada dua pertanyaan kunci yang perlu dijawab, terutama oleh aparat penegak hukum. “Paling tidak ada dua persoalan hukum yang menarik untuk didiskusikan,” ujarnya dalam Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia Tahun 2021 secara daring, Sabtu (9/10).

Pertanyaan pertama, apakah masih ada unsur melawan hukum. Unsur melawan hukum sangat penting untuk membuktikan ada tidaknya tindak pidana korupsi sebagaimana disebut dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor mengancam pidana penjara dan denda ‘setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi yang (dapat) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’.

Baca:

Pertanyaan ini semakin relevan jika dikaitkan dengan perlindungan hukum yang diberikan oleh Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rngka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perppu ini sudah ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui UU No. 2 Tahun 2020. Pasal 27 ayat (2) menyatakan anggota KKSK, Sekretaris KKSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu ini tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan padaiktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Rumusan ini dapat dijadikan tameng untuk membentengi diri dari jerat hukum tindak pidana korupsi. Menurut Danil, ada pemahaman yang keliru seolah-olah KKSK dan para pejabat yang disebut dalam Pasal 27 ayat (2) memiliki kekebalan hukum seolah-olah mereka tidak dapat menjadi subjek tindak pidana korupsi. Padahal kata kuncinya adalah pada ‘iktikad baik’ dan ‘sesuai dengan peraturan perundang-undangan’. “Jadi, kalau perbuatan mereka tidak sesuai dengan maksud UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka mereka bisa dijerat dengan Undang-Undang itu,” tegas akademisi kelahiran 25 Juni itu.

Pertanyaan kedua adalah bagaimana aparat penegak hukum membuktikan unsur kerugian negara sebagaimana juga disebut dalam rumusan Pasal 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, kerugian negara menjadi actual loss. Harus ada perhitungan riil kerugian negara. Kerugian negara dapat dihitung oleh BPK, BPKP, auditor, atau perhitungan lain yang dibenarkan hukum.

Tantangannya bukan hanya membuktikan actual loss, tetapi juga pada perlindungan hukum yang diberikan Perppu No. 1 Tahun 2020. Perppu ini menegaskan tidak termasuk ke dalam kerugian negara: biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau anggota KKSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara, termasuk kebijakan bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional. Semua biaya yang dikeluarkan sebagai bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis bukanlah kerugian negara. Keputusan yang diambil dalam rangka penyelamatan perekonomian itu juga bukan objek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Perlindungan atau benteng yang telah diberikaan hukum itu seharusnya diimbangi dengan transparansi. Situasi krisis atau darurat tidak boleh menjadi alasan untuk tidak transparan dan akuntabel dalam pengelolaan anggaran penanganan Covid-19. Transparansi justru bisa memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam penanganan pandemi ini. Landasannya diperkuat oleh UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. “Informasi itu penting untuk dibuka agar masyarakat dapat mengawasi penggunaan anggaran,” ujar Prof. Danil.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) termasuk yang berusaha mendorong keterbukaan pemerintah dalam perencanaan dan penggunaan anggaran penanganan Covid-19. Potensi korupsi penggunaan dana itu sangat besar, bukan hanya pada pengadaan barang/jasa, tetapi juga insentif tenaga kesehatan dan bantuan sosial. Kasus yang menjerat eks Mensos Juliari P. Batubara salah satunya.

Terkait penanganan perkara korupsi, penting dicatat tentang Surat Edaran KPK No. 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-1) Terkait dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.

Tags:

Berita Terkait