Empat Persoalan dalam Kebijakan Relaksasi Kredit
Berita

Empat Persoalan dalam Kebijakan Relaksasi Kredit

LBH Jakarta mendesak OJK menerbitkan kebijakan relaksasi kredit yang mengakompodir kebutuhan relaksasi kredit debitur seluruh layanan jasa keuangan dan memberi sanksi tegas bagi layanan jasa keuangan yang menolak relaksasi kredit masyarakat terdampak wabah Covid-19.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES

Dalam beberapa bulan terakhir, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi dampak ekonomi akibat penyebaran Covid-19. Salah satunya, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. Kebijakan stimulus (relaksasi) bagi debitur perbankan ini untuk menjaga pertumbuhan perekonomian nasional yang sedang terpukul akibat wabah virus Corona.

“Memburuknya kondisi ekonomi saat ini mempengaruhi kemampuan masyarakat membayar cicilan kredit yang biasanya mereka bayar secara rutin setiap bulannya. Ini disebabkan banyak pekerja formal di-PHK dan dirumahkan tanpa upah termasuk kesulitan pekerja informal,” ujar pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Yenny Silvia Sari Sirait dalam keterangannya belum lama ini.

Yenny menegaskan Pandemi Covid-19 yang hingga kini masih menyebar tak hanya berdampak pada aspek sosial kemasyarakatan, tapi semakin memperburuk kondisi ekonomi seluruh masyarakat Indonesia. Meski Pemerintahan Joko Widodo telah menerbitkan kebijakan relaksasi kredit melalui POJK Nomor 11/POJK.03/2020 itu, namun praktiknya menimbulkan masalah, sehingga hasilnya tidak optimal dan tepat sasaran.

“Kebijakan ini menimbulkan berbagai permasalahan dalam praktiknya,” ujarnya. (Baca Juga: Akibat Virus Corona, Debitur Bisa Dapat Relaksasi Kredit)

Dia melihat terdapat empat persoalan yang ditimbulkan dari POJK 11/POJK.03/2020. Pertama, kebijakan tersebut hanya sebatas mengakomodir layanan jasa keuangan perbankan. Seperti Bank Umum Konvensional (BUK), Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), Bank Pengkreditan Rakyat (BPR), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).

“Padahal, penurunan kemampuan membayar kredit masyarakat yang cukup drastis tak hanya dialami nasabah perbankan, tapi juga pengguna layanan jasa keuangan lain seperti perusahaan leasing dan pinjaman online. Pemerintah semestinya mengevaluasi aturan tersebut,” usulnya.

Kedua, sebagian bank hanya menyetujui relaksasi kredit debitur yang menjadi pasien dalam pemantauan (PDP) atau pasien positif Covid-19. Terdapat banyak masyarakat yang mengalami penolakan relaksasi kredit dengan alasan tidak terdampak Covid-19 secara langsung. Padahal, pekerjaan dan usahanya mengalami penurunan pendapatan dan diambang kebangkrutan.

“Dampak pandemi Covid-19 menghantam perekonomian siapapun tanpa pandang bulu sekalipun bukan orang yang berstatus PDP atau pasien positif Covid-19. Hal ini tentu tidak sejalan dengan pertimbangan pada POJK 11/2020 huruf a,” kritiknya.

Dalam pertimbangan pada POJK 11/2020 huruf a menyebutkan, “Perkembangan penyebaran coronavirus disease 2019 (Covid-19) secara global telah berdampak secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kinerja dan kapasitas debitur dalam memenuhi kewajiban pembayaran kredit atau pembiayaan.

Ketiga, relaksasi kredit ternyata hanya dapat dilakukan jika BUK, BUS, UUS, BPR, dan BPRS menyetujui permohonan relaksasi pinjaman tersebut. Akibatnya, banyak debitur yang tak dapat melakukan relaksasi pinjaman karena tidak disetujui oleh perusahaan BUK, BUS, UUS, BPR, dan BPRS.

Dia menilai BUK, BUS, UUS, BPR, dan BPRS memaknai kebijakan ini hanya sebagai “saran”, bukan "kewajiban” yang harus ditaati. Akibatnya, kebijakan tersebut menjadi sarat kepentingan pengusaha dan investor, bukan untuk melindiungi kepentingan masyarakat yang mengalami dampak ekonomi akibat wabah Covid-19.

Keempat, tidak adanya mekanisme pengawasan yang dibuat OJK apabila relaksasi kredit ditolak, sekalipun sudah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam POJK 11/2020. Dalam POJK 11/2020, debitur yang dapat mengajukan relaksasi kredit harus memenuhi 2 syarat. Pertama, debitur UMKM dengan plafon tertinggi Rp10 miliar dan kualitas kredit yang lancar sejak pemberlakuan kesepakatan restrukturisasi.

Bila memenuhi syarat tersebut sudah seharusnya permohonan relaksasi kredit disetujui oleh perusahaan layanan jasa keuangan. Namun, sayangnya dalam praktiknya, beberapa BUK, BUS, UUS, BPR, dan BPRS menetapkan syarat tambahan yang ujungnya menjadi alasan penolakan relaksasi kredit. “POJK 11/2020 tidak menegaskan fungsi OJK sebagai lembaga yang seharusnya melakukan pengawasan agar penolakan-penolakan relaksasi kredit ini tidak terjadi,” kata dia lagi.

Dalam menjamin perlindungan ekonomi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi negara, LBH Jakarta mendesak OJK menerbitkan kebijakan relaksasi kredit yang mengakompodir kebutuhan relaksasi kredit debitur seluruh layanan jasa keuangan. ”Dan memberi sanksi tegas bagi layanan jasa keuangan yang menolak relaksasi kredit masyarakat terdampak wabah Covid-19,” katanya.

Belum optimal

Terpisah, Wakil Ketua Komisi XI DPR Amir Uskara punya pandangan senada. Dia menilai kebijakan relaksasi kredit perusahaan pembiayaan terhadap pengguna jasa layanan jasa keuangan belum optimal. Penyebabnya minimnya sosialisasi oleh OJK selaku regulator, perbankan atau leasing ke debitur yang terdampak di dunia usaha. Di sisi lain, OJK dan sektor jasa keuangan lain dituntut bekerja cepat menyiapkan berbagai perangkat dan instrumen lain agar tidak memicu kenaikan rasio kredit bermasalah

“Dengan pendeknya waktu, sektor jasa keuangan pun terkesan sulit merestrukturisasi kredit bagi para debitur karena aturan sektor jasa keuangan terkait restrukturisasi kredit hanya dilakukan saat kondisi normal, bukan dalam situasi darurat.”

Sebelumnya, Presiden Jokowi pernah menuturkan terhadap para pelaku UMKM, OJK bakal memberikan relaksasi kredit, khususnya untuk nilai kredit di bawah Rp10 miliar yang bertujuan peruntukan usaha. Tak hanya kredit yang diberikan perbankan, namun juga industri keuangan nonbank. “Asalkan digunakan untuk usaha akan diberikan penundaan cicilan sampai satu tahun,” kata Presiden, Selasa (24/3/2020) lalu.

Dia pun meyakinkan masyarakat di sektor informal, seperti tukang ojek, supir taksi yang sedang mengkredit kendaraan bermotor dan mobil serta nelayan yang mengkredit perahu agar tak perlu khawatir. Sebab, pembayaran kredit bunga dan angsurannya diberikan kelonggaran hiingga jangka waktu satu tahun.

Presiden Jokowi pun mengingatkan agar pihak perbankan atau industri nonbank tidak memaksa dan mengejar para debitur untuk membayar angsuran dan bunga. Apalagi menggunakan jasa penagihan seperti debt colector. “Itu dilarang dan saya minta kepolisian mencatat hal ini,” katanya.

Tags:

Berita Terkait