Relaksasi Kredit: Rescheduling atau Restrukturisasi?
Kolom

Relaksasi Kredit: Rescheduling atau Restrukturisasi?

Saat ini pemerintah harus menyempurnakan POJK Nomor 11/POJK.03/2020 dengan memberikan pedoman terhadap batasan rescheduling dan restrukturisasi yang diijinkan oleh OJK sebagai regulator.

Bacaan 2 Menit
Rio Christiawan. Foto: Istimewa
Rio Christiawan. Foto: Istimewa

Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan aturan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang stimulus perekonomian nasional. Tujuan dari diterbitkannya aturan ini adalah untuk memberikan relaksasi kredit bagi nasabah terdampak Covid. Persoalannya pemerintah tidak mendefinisikan lebih lanjut mengenai relaksasi kredit perbankan yang dimaksud. Bahkan pemerintah mengembalikan pada kebijakan masing masing bank.

Pengertian relaksasi kredit perbankan secara hukum, dengan mengacu pada Masayah and Grimble (2015), adalah pelonggaran syarat-syarat kredit, baik syarat financial maupun non financial untuk memberikan kemudahan pada nasabah perbankan. Memang menjadi persoalan dalam hal ini pemerintah tidak memberikan acuan yang jelas terkait arah relaksasi itu sendiri. Akibatnya lembaga keuangan perbankan yang juga memiliki kepentingan komersial tidak memiliki acuan yang sama terkait pelonggaran syarat kredit perbankan.

Setelah berlakunya aturan OJK di atas bahkan hingga saat ini tidak ada jaminan bagi nasabah terdampak untuk memperoleh relaksasi. Terminologi relaksasi perbankan ditujukan untuk membantu nasabah debitur yang mengalami beban keuangan (financial stress) sehingga dengan diberikan pelonggaran syarat maka nasabah debitur tersebut dapat menyelesaikan kewajiban kreditnya.

Dalam hal ini dengan adanya pandemi Covid-19 yang telah menyebabkan lesunya perekonomian yang menyebabkan beban keuangan bagi nasabah debitur maka pemerintah memberikan relaksasi agar debitur mampu menyelesaikan kewajiban kreditnya. Tujuan pemerintah memberikan relaksasi agar tidak terjadi non performing loan (NPL) secara massif yang pada akhirnya akan berdampak sistemik pada kesehatan perbankan itu sendiri.

Keputusan pemerintah untuk menunda pembayaran kredit sampai dengan jangka waktu tertentu dalam perspektif hukum dapat dikatakan tepat, sekaligus dapat juga dikatakan tidak tepat. Secara hukum menunda pembayaran kredit hanya berarti menunda jatuh tempo angsuran sekaligus memperpanjang masa perjanjian kredit. Dalam hal ini tidak nampak insentif maupun kemudahan yang diberikan oleh pemerintah pada nasabah debitur maupun industri perbankan. Sebenarnya dalam hal ini relaksasi dibutuhkan oleh nasabah debitur sekaligus dibutuhkan oleh bank sebagai kreditur agar tidak terjadi NPL.

Rescheduling atau Restrukturisasi?

Secara hukum penundaan jatuh tempo dan perpanjangan jangka waktu (Rescheduling) berbeda halnya dengan Restrukturisasi perjanjian kredit. Secara hukum, pengertian rescheduling hanya memberikan kelonggaran terkait syarat jangka waktu saja, yakni terkait jatuh tempo angsuran dan masa berakhirnya perjanjian. Sebaliknya, secara hukum pengertian restrukturisasi perjanjian kredit adalah merubah stuktur perjanjian itu sendiri, artiny tidak saja terbatas pada peruahan klausula jatuh tempo dan berakhirnya perjanjian.

Termasuk secara hukum dimungkinkan untuk melakukan adjustment bunga maupun re-modeling pembiayaan melalui restrukturisasi. Misalnya nasabah mampu membayar dengan angsuran model flat (sama setiap bulannya) sebelum terjadinya Covid, namun setelah terjadinya Covid nasabah membayar dengan model balloon payment (angsuran kecil diawal dan semakin lama semakin besar angsuran yang dibayar, dengan asumsi nasabah telah pulih).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait