Forkot Gresik Gugat UU Pelayaran
Berita

Forkot Gresik Gugat UU Pelayaran

Permohonan pemohon dinilai belum jelas.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Forkot Gresik Gugat UU Pelayaran
Hukumonline
Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian secara formil dan materil UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran terhadap UUD 1945. Judicial review ini diajukan oleh Forum Kota (Forkot) yang mewakili warga Kabupaten Gresik yang peduli pada otonomi daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari subsektor Kepelabuhan.

Forkot Gresik diwakili oleh Musa, Yuyun Wahyudi, Hasanudin Farid, Al Ushudi, Arif Riduwan, dan Mohammad Agustian Ardianto ini memohon MK menguji sejumlah norma dalam UU Pelayaran. Norma yang diuji adalah Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 70 ayat (2), Pasal 72 ayat (1), Pasal 76 ayat (1), Pasal 77, Pasal 81 ayat (4), Pasal 82 ayat (1) dan (2), Pasal 96 ayat (1), Pasal 104,  dan Pasal 207 ayat (3) UU Pelayaran.

Pasal 28 ayat (1) UU Pelayaran menyatakan: (1) Izin usaha angkutan laut diberikan oleh : a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota, b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah provinsi dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi; atau c. Menteri bagi badan usaha yang melakukan kegiatan pada lintas pelabuhan antarprovinsi dan internasional.

Dalam sidang perdana yang diketuai Patrialis Akbar, pemohon menilai UU Pelayaran tidak memenuhi syarat formil. Sebab, pemohon tidak dilibatkan dalam setiap pembahasan RUU Pelayaran  baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Selain itu, UU Pelayaran itu tidak memenuhi syarat pembentukan UU berdasarkan UUD 1945. “Para pemohon tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan RUU Pelayaran,” ujar salah pemohon, Musa dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Kamis (28/8). Patrialis didampingi Arief Hidayat dan Aswanto sebagai anggota majelis panel.

Pemohon juga menganggap pasal-pasal tersebut bertentangan dengan prinsip otonomi daerah seperti dijamin Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, TAP MPR RI No. IV/MPR/2000, Pasal 18 dan Pasal 237 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Menasehati pemohon, Patrialis menilai materi permohonan belum memenuhi standar yang  berlaku dalam beracara di MK. “Saudara baru beracara di MK kayaknya, sehingga Saudara perlu melihat contoh-contoh permohonan yang ada di MK, mulai dari identitas pemohon, kedudukan pemohon, alasan permohonan, dan petitum,” kata Patrialis.

Majelis juga menilai legal standing (kedudukan hukum pemohon) tidak jelas seolah-olah mewakili pemerintah daerah Gresik. Sebab, ada pasal yang mengatasnamakan pemerintah daerah. “Dalam permohonan ini apakah Saudara sebagai pemohon atau kuasa hukum, karena permohonan di sini tidak boleh mewakili, kecuali kalau Saudara mendapat kuasa dari pemerintah daerah,” kata Patrialis.

Anggota Panel, Arief Hidayat menilai bahwa pengujian formil yang diajukan oleh pemohon sudah melampui batas karena melebihi 45 hari terhitung sejak UU Pelayaran diundangkan dalam Lembar Negara. “UU yang Saudara uji ini diterbitkan 2008, jadi sudah lewat, untuk itu diperbaiki tidak usah diajukan formilnya. Lebih baik Saudara fokus di uji materilnya sesuai standar yang berlaku di MK,” kata Arief.

Dia menyarankan agar pemohon harus bisa menguraikan secara jelas, dimana letak pertentangan dari setiap pasal yang diuji yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. “Dalam permohonannya juga tidak perlu dipertentangkan dengan UU lain karena itu bukan wewenang MK. Saudara cukup menguraikan setiap pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Secara keseluruhan permohonan Saudara belum jelas,” nasihat Arief.
Tags:

Berita Terkait