Hakim Adat Minta Pengakuan dari Negara
Berita

Hakim Adat Minta Pengakuan dari Negara

Kasus tabrak motor, sejam bisa selesai.

ALI
Bacaan 2 Menit

Pokok masalahnya, lanjut Kadirman, adalah karena lembaga adat ini belum diakui negara baik di tingkat pusat maupun daerah. Padahal, UUD 1945 menjamin adanya eksistensi masyarakat hukum adat. “Kami belum diakui oleh Pemda maupun Negara kami sendiri. Kami ingin segera diakui,” tuturnya.

Lilik Mulyadi menjelaskan sebenarnya lembaga adat itu sudah diakui dalam sistem peradilan Indonesia. Pengakuannya dapat di lihat dari model ketiga yang dipaparkannya, yakni hakim-hakim telah menggali nilai-nilai adat ketika membuat putusan. “Itu sudah berjalan sekarang,” ujarnya.

Lebih lanjut, Lilik mengatakan model penyelesaiannya itu adalah bila sebuah kasus selesai di lembaga adat, maka kasus itu sudah dianggap selesai. Bila ternyata tak selesai juga, baru kemudian berjalan ke peradilan nasional. “Sebenarnya pengadilan sudah mengakui itu,” ujarnya.

Lilik tak asal omong. Ia menunjuk yurisprudensi Putusan MA No. 1644 K/Pid/1988 terhadap sebuah kasus di Kendari, Sulawesi Selatan. Kasus ini berawal dari perbuatan asusila seseorang di Desa Parauna Kecamatan Unaaha, Kodya Kendari yang ditangani oleh Kepala Adat Tolake.

Kepala Adat Tolake menjatuhkan vonis kepada pelaku berupa sanksi adat “Prohala”, pelaku harus membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci. Pelaku mematuhi sanksi itu. Sayangnya, meski sudah selesai di lembaga adat, kasus ini tetap ditangani oleh kepolisian dan berujung ke Pengadilan Negeri.

Di Pengadilan Negeri Kendari, majelis hakim menegaskan terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana adat ‘memperkosa’. Majelis juga menolak pembelaan terdakwa bahwa PN seharusnya tak mengadili kasus ini lagi karena sudah selesai di lembaga adat. Argumen nebis in idem juga ditolak oleh pengadilan.

Di Pengadilan Tinggi, majelis hakim menguatkan putusan PN. Majelis menyatakan terdakwa duhukum karena bersalah melakukan perbuatan ‘pidana adat siri’. Uniknya, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) justru membalik semua putusan PN dan PT tersebut.

Lilik menjelaskan MA berpendapat bahwa terdakwa telah menjalani sanksi adat berupa membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci. Karenanya, PN dan PT seharusnya tak berwenang lagi menjatuhi hukuman kepada terdakwa.

“Bahwa hukuman adat tersebut adalah sepadan dengan kesalahan terhukum sehingga menurut ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Drt Nomor 1 Tahun 1951 sehingga terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman pidana lagi oleh pengadilan,” ujar Lilik mengutip putusan MA tersebut.

Tags: