Sri Murwahyuni: Hakim Agung Tak Lupa Kodrat
Edsus Akhir Tahun 2010:

Sri Murwahyuni: Hakim Agung Tak Lupa Kodrat

Menolak tawaran jabatan pimpinan pengadilan demi keluarga.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit

 

Pada Februari 1984, Pengadilan Negeri (PN) Pandeglang menjadi saksi bisu bagi perempuan kelahiran Madiun ini mengawali profesinya sebagai hakim. Lantaran menggeluti profesinya dengan penuh kesungguhan selama hampir 26 tahun, ia dapat melalui tugasnya dengan baik. “Sejak dulu, saya memegang prinsip bekerja sama dengan ibadah. Jadi saya jalani saja dan tidak merasa keberatan kalau berpindah-pindah,” tuturnya.   

 

Hingga saat ini tercatat enam PN dan 2 Pengadilan Tinggi (PT) pernah menghiasi perjalanan karir Sri Murwahyuni. Sebut saja, PN Serang (1989), PN Probolinggo (1992), PN Sidoarjo (1997), PN Bondowoso (2001), PN Surabaya (2003), PT Samarinda (2006), PT Surabaya (2008) hingga terpilih sebagai hakim agung pada Oktober 2010 lalu yang dikukuhkan lewat Keppres tertanggal 27 Oktober 2010.          

 

Keluarga nomor satu

Selama melakoni sebagai hakim, ia mengaku belum pernah menjadi pimpinan pengadilan, meski beberapa kali ia pernah ditawari jabatan itu. Pada 1997, Sri Murwahyuni pernah diminta untuk menjadi Wakil Ketua PN (WaKPN). Namun, perempuan dua anak itu, menolaknya. “Dulu pernah saat mengurus mutasi ke PN Sidoarjo, saya ditawari Wakil Ketua PN, tetapi saya tidak mau,” ujar perempuan yang belum lama lulus dari magister hukum bisnis di FH UII Yogyakarta pada September 2006 itu.     

 

Penolakannya itu bukan tanpa alasan, ia khawatir jika jabatan WaKPN diambil, urusan rumah tangganya (keluarga) akan terabaikan. “Saya merasa urusan rumah tangga lebih saya nomorsatukan, jika jadi WaKPN kan sering keluar kota mewakili KPN atau jika KPN berhalangan saya menggantikannya, saya nggak kepengen seperti itu,” dalihnya. “Pikiran dan tenaga saya tidak full ke kantor, sebagian untuk urusan rumah tangga.”   

 

Menurutnya, menolak jabatan struktural sebagai pimpinan pengadilan dengan alasan lebih mementingkan keluarga bukan hanya terjadi pada dirinya, rekan-rekan sejawat punya alasan serupa. “Menolak dengan alasan keluarga bukan saya saja, ada beberapa teman juga,” jelasnya.

 

Meski berprinsip mengedepankan urusan keluarga, namun tak jarang tugas-tugasnya sebagai hakim dibawa ke rumah. “Kadang baca berkas kasus dan bikin putusan di rumah, biasanya setelah sholat malam, baru saya kerja,” akunya.   

       

Menjelang terpilih menjadi hakim agung, Sri Murwahyuni juga pernah ditawari jabatan sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi (WKPT) oleh Wakil Ketua PT Surabaya. Awalnya, ia menolak, namun lantaran ada panggilan fit and proper test oleh MA, akhirnya ia mengikuti proses itu. “Saya lulus dan dapat mendapat SK pengangkatan menjadi WaKPT Bengkulu, waktu itu SK-nya turun 4 hari sebelum lebaran 2010,” ujarnya.    

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait