Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih Mengaku Malu kepada Majelis Kehormatan MK
Terbaru

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih Mengaku Malu kepada Majelis Kehormatan MK

Karena mendapat kiriman berupa berita, foto, dan meme yang merendahkan MK. Ditambah eksaminasi publik di FH UGM yang mengkritik putusan MK.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Terkait perkara No.90/PUU-XXI/2023, Prof Enny sebagai Juru Bicara MK mengaku dikejar-kerjar awak jurnalis untuk mengkonfirmasi dugaan kebocoran putusan. Dia kaget ketika perkara itu dicabut, tapi kepaniteraan menyampaikan pencabutan itu dibatalkan dan pemohon tetap melanjutkan karena sudah dikonfirmasi. Isu pencabutan itu dianggap sudah selesai karena pemohon prinsipal bakal melanjutkan proses.

Pembahasan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 sempat mengalami deadlock. Kemudian Prof Enny meminta waktu skorsing untuk mencoba mencari benang merahnya, bagaimana sebetulnya posisi yang diminta oleh pemohon. Kemudian, alurnya untuk mengatakan bahwa kepala daerah berada pada posisi dalam sistem pemerintahan daerah yang berpengalaman, sedang atau pernah menjabat (kepala daerah, red). Karena itulah pembentuk UU menyerahkan ke MK yang intinya meminta kebijaksanaan lembaga konstitusi memutus perkara tersebut.

Prof Enny yang notabene mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mengatakan, pemohon dalal petitumnya meminta syarat usia Capres-Cawapres yang berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman setingkat gubernur di provinsi atau bupati/walikota untuk kabupaten/kota. Dia menjelaskan yang harus dilakukan dan kemudian bagaimana harus konsisten pada putusan-putusan terdahulu.

Apalagi Enny salah satu hakim konstitusi yang memutus perkara 29, 51, dan 55/PUU-XXI/2023 dengan amar putusannya ‘ditolak’. Tapi masalahnya, di hari yang sama ketiga perkara itu dimatikan semua dengan asas lex posterior derogat legi priori. “Apakah praktik tersebut ada dalam peradilan di dunia ini?. Hal tersebut yang kemudian dikatakan oleh Prof. Saldi, ‘dalam sekelebat’,” kata Prof Enny dalam keterangannya sebagaimana tertuang dalam putusan No.5/MKMK/L/11/2023.

Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Gajah Mada (UGM) itu melanjutkan, MK tidak mungkin menentukan hal-hal yang berkaitan dengan angka (syarat usia capres-cawapres,-red). Dia beralasan hal tersebut bukanlah sesuatu yang dapat diuji konstitusionalitasnya. Lain halnya bila  intolerable. Baginya,  merumuskan syarat ‘berpengalaman’ tidaklah mudah. Sebab mesti melihat kondisi geografis, demografis, infrastruktur, ekonomis, sumber daya alam dan lainnya.

Semua hal itu diceritakan tuntas dalam alasan berbeda (concurring opinion) Prof Enny di perkara 90/PUU-XXI/2023. Alasan itu membuat Prof Enny mengabulkan perkara 90/PUU-XXI/2023, tapi tidak sama dengan tiga hakim konstitusi mayoritas yang mengabulkan sebagian.

“Hal itu yang kemudian ditarik Pak Ketua (Anwar Usman,-red) sebagai mengabulkan sebagian,” pungkasnya.

Tags: