Hukum Kepailitan Indonesia di Ambang ‘Pailit'
Fokus

Hukum Kepailitan Indonesia di Ambang ‘Pailit'

Penerapan hukumnya amburadul. Materi muatan hukumnya banyak yang bertabrakan. Berujung pada rendahnya kesadaran masyarakat menggunakan instrumen kepailitan.

IHW
Bacaan 2 Menit

 

Contoh lain

‘Amburadulnya' penegakan hukum kepailitan tidak hanya disuarakan Ricardo. Seorang mantan hakim kepailitan di era 1960-an juga mengeluhkan masalah serupa. Ia adalah Kartini Muljadi, senior partner pada kantor hukum Kartini Muljadi dan rekan.

 

Dengan menyamarkan identitas para pihak yang bersengketa, Kartini menceritakan suatu perkara dimana Mahkamah Agung menjatuhkan putusan yang menyatakan suatu perusahaan pailit dengan segala hukumnya. Selain itu, amar yang lain menghukum debitur pailit untuk membayar utang kepada pemohon (kreditur) sebesar AS$25 ribu.

 

Menurut Kartini, ada beberapa asas dan ketentuan hukum kepailitan dilanggar dalam perkara itu. Salah satunya adalah tidak adanya amar putusan untuk mengangkat hakim pengawas. Padahal Pasal 15 Ayat (1) UU Kepailitan mengharuskan pengadilan mengangkat hakim pengawas jika mengabulkan permohonan pailit terhadap seorang debitur.

 

Kartini menilai Mahkamah Agung dalam perkara itu juga melanggar asas umum UU Kepailitan, salah satunya asas keadilan. Menurut Kartini, UU kepailitan sangat mengedepankan prinsip perlakuan seimbang dan bukan perlombaan di mana kretidur yang pertama menagih dibayar didahulukan dan dibayar seluruh tagihannya. Faktanya dalam perkara ini, Mahkamah Agung menghukum termohon (debitur) membayar utangnya kepada pemohon. Bahkan utangnya dalam mata uang asing.

 

UU Kepailitan sudah jelas mengatur alur dan mekanisme kepailitan. Kurator tidak langsung membagikan harta pailit kepada kreditur setelah putusan dibacakan. Kurator memulainya dengan pencocokan piutang para kreditur. Sementara Pasal 139 UU Kepailitan jelas menyebutkan bahwa piutang yang berbentuk mata uang asing, harus lebih dulu diubah ke dalam rupiah.

 

Substansinya Tidak Sinkron

‘Bangkrutnya' Hukum Kepailitan di Indonesia tidak cuma dari sisi penegakkan hukum. Dari sisi materi muatan atau substansi hukum pun bermasalah. Paling tidak, demikian pandangan Elijana yang dilontarkan di dalam Seminar Nasional Hukum Kepailitan.

 

Elijana, Ketua Tim Revisi UU Kepailitan menandaskan banyaknya aturan dalam rezim kepailitan yang saling bertentangan. Lebih ironis karena ternyata pertentangan juga ada di dalam UU Kepailitan itu sendiri.

Tags: