Hukuman Kebiri Kimia Dinilai Tak Efektif Beri Efek Jera
Berita

Hukuman Kebiri Kimia Dinilai Tak Efektif Beri Efek Jera

Karena kebiri kimia tidak otomatis mengubah perilaku pelaku kejahatan seksual. Selain itu, hukuman ini dinilai tidak manusiawi yang bertentangan dengan konvensi internasional.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Pidana tambahan yang dijatuhkan kepada terpidana kasus pemerkosaan 9 anak di Mojokerto, M Aris bin Syukur berupa kebiri kimia dikritik sejumlah pihak. Sebab, hukuman jenis ini dinilai tidak memberi efek jera bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.     

 

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid sepakat dan meminta semua pihak bersatu memerangi kejahatan seksual terhadap anak. Namun, penghukuman menggunakan kebiri kimia adalah membalas kekejaman dengan kekejaman. Menurutnya, jenis hukuman ini bukan esensi dari penghukuman dan bukan pula bagian dari keadilan itu sendiri.

 

Usman mengusulkan otoritas di Indonesia mencari alternatif penghukuman lain untuk memerangi kejahatan seksual terhadap anak tanpa harus berujung pada hukuman mati, yang juga masuk dalam kategori penghukuman kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat yang melanggar HAM. Bagi Usman hukuman berupa kebiri kimia bertentangan dengan aturan internasional.

 

Usman menegaskan kovenan internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (Sipol/ICCPR), melarang bentuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. “Para pelaku harus dihukum berat setimpal dengan kejahatannya. Pemenjaraan dalam waktu yang lama disertai program-program penyadaran dapat membuat seseorang menjadi sadar dan tidak melakukannya lagi setelah menjalani masa pidana adalah salah satu caranya,” kata Usman dalam keterangannya, Selasa (27/8/2019).

 

Menurut Usman, pemerintah telah berupaya menunjukan ketegasan dalam memerangi kejahatan seksual terhadap anak. Ini ditunjukkan dengan penghukuman kebiri kimia, tapi Usman berpendapat cara ini justru menjauhkan pemerintah dari tanggung jawabnya untuk mereformasi kerumitan sistem hukum dan kebijakan perlindungan anak.

 

Amnesty International menolak segala bentuk kejahatan seksual termasuk terhadap anak dan meminta pemerintah untuk mengambil langkah yang tepat untuk menghentikan kejahatan seksual,” sarannya. Baca Juga: Pidato Jokowi Singgung Soal Anak, DPD Berharap Perppu Kebiri Segera Disahkan

 

Sebelumnya, perwakilan dari Forum Penyedia Layanan Yustin Fendrita, mengatakan sejak awal pihaknya menolak Perppu No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak karena salah satu ketentuannya mengatur tentang tindakan berupa kebiri kimia. Menurutnya aturan ini tidak akan memberikan efek jera terhadap pelaku.

 

Menurut Yustin, kekerasan seksual tidak hanya terjadi melalui alat kelamin, tapi bisa menggunakan benda tumpul lainnya. Karena itu, penjatuhan saksi berupa kebiri kimia tidak akan memberikan efek jera terhadap pelaku, karena dia masih bisa melakukan kekerasan seksual dengan cara lain. “Kalau sanksinya mengebiri pelaku, maka ini tidak serta merta menghentikan kekerasan seksual,” ujarnya.

 

Yustin juga ragu terhadap efektivitas pelaksanaan eksekusi hukuman kebiri karena organisasi profesi dokter pun menolak melaksanakannya. Selain itu, biaya untuk eksekusi hukuman kebiri menurut Yustin juga tidak murah, dan harusnya pemerintah lebih memperhatikan/mengedepankan rehabilitasi hak-hak korban.

 

Koordinator Divisi Perubahan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Khotimun Sutanti mencatat biaya yang dibutuhkan untuk melakukan kebiri kimiawi untuk 1 orang sekitar Rp5,6 juta. Tapi sampai saat ini tidak ada perhatian untuk korban kekerasan seksual. Padahal, mereka harus menyambangi psikolog yang biayanya sekali kunjungan mencapai Rp2,5 juta. Kemudian banyak hal dimana korban harus menanggung sendiri biaya untuk kebutuhannya seperti tes DNA dan visum.

 

Menurut Khotimun, hal ini menunjukan banyak cara pandang yang salah dalam melihat kekerasan seksual. Faktanya, setelah Perppu kebiri itu terbit jumlah kekerasan terhadap anak tidak turun, tapi malah meningkat. Jika serius menangani persoalan kekerasan seksual, Khotimun mengusulkan pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS). “Kalau RUU PKS tak kunjung disahkan, korban semakin tidak mendapat keadilan,” kata dia.

 

Koordinator Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan (JKP3) Ratna Batara Munti mengusulkan ketimbang kebiri kimia lebih baik pemerintah melakukan rehabilitasi kepada pelaku, sehingga dapat mengubah cara pandang dan pola pikir pelaku. “Kebiri kimia tidak otomatis mengubah pelakunya menjadi baik,” katanya.

Tags:

Berita Terkait