IAPI Keberatan Sanksi Pidana Bagi Akuntan Publik
Berita

IAPI Keberatan Sanksi Pidana Bagi Akuntan Publik

Penjatuhan sanksi pidana ini dikhawatirkan akan rawan menimbulkan kriminalisasi bagi profesi akuntan publik.

Oleh:
ash
Bacaan 2 Menit
IAPI Keberatan Sanksi Pidana Bagi Akuntan Publik
Hukumonline

Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) mempertanyakan ketentuan pidana yang diatur dalam UU No 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. IAPI berpendapat tujuan ketentuan pidana yang diatur  Pasal 55 dan 56 yakni untuk mencegah kejahatan atau kecurangan yang dilakukan akuntan publik dan pihak terasosiasi, merupakan pandangan yang mengada-ada dan tidak didukung data ilmiah.

“Ini bentuk ‘pengkerdilan’ profesi akuntan publik yang dijamin konstitusi,” kata Ketua Umum Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Tia Adityasih saat memberi keterangan sebagai pihak terkait di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (22/2).

Menurut Tia, konstruksi norma yang berisi ancaman pidana dalam Pasal 55 dan 56 UU Akuntan Publik tidak sesuai dengan karakteristik profesi akuntan publik. Bahkan, kebijakan formulatif yang dituangkan dalam kedua pasal itu sudah mengkualifisir profesi akuntan publik sebagai profesi yang jahat. Seharusnya bukan pendekatan sanksi pidana yang dilakukan, melainkan pendekatan pemberdayaan dan memfasilitasi penyelesaian di lingkungan internal profesi akuntan publik.

“Seperti kasus Styam di India, akuntan publik diajukan ke pengadilan bukan didasarkan pada UU Akuntan Publik di India karena memang UU Akuntan Publik di India tidak memuat sanksi pidana, kecuali sanksi pidana bagi akuntan publik palsu,” ujarnya membandingkan.  

Ia menilai istilah kata “manipulasi” dalam Pasal 55 dan 56 UU Akuntan Publik merupakan istilah yang bersifat general (umum), sedangkan istilah pemalsuan (yang dikenal dalam KUHP, red) adalah istilah yang bersifat spesifik. Karenanya, dalam profesi akuntan publik yang selalu berhubungan dengan pengolahan data komputer, maka rumusan “manipulasi” dikhawatirkan akan menimbulkan kriminalisasi terhadap akuntan publik.

“Jadi manipulasi lebih luas daripada memalsukan, perbedaan pendapat para ahli mengenai pengertian manipulasi ini semakin kabur,” katanya.

Menurutnya, penjatuhan sanksi pidana ini dikhawatirkan akan rawan menimbulkan kriminalisasi bagi profesi akuntan publik yang akhirnya menimbulkan dampak meningkatnya risiko profesi dan menurunnya pertumbuhan bisnis akuntan publik. “Ketidakpatuhan terhadap standar profesi dan kode etik cukup diatur melalui pengenaan sanksi profesi,” dalihnya.

Ditambahkannya, UU Akuntan Publik semestinya cukup memberi dukungan bagi profesi Akuntan Publik dengan mengamanatkan standar profesi, kode etik, AD dan ART asosiasi berfungsi memberdayakan profesi akuntan publik dengan pendekatan yang baik. “Pemberian sanksi hanya sebagai upaya terakhir (ultimum remedium, red) dari pemberdayaan itu,’ pintanya.

Karena itu, semestinya bukan pendekatan sanksi pidana bagi yang perlu menjadi materi muatan dalam UU Akuntan Publik, tetapi terwujudnya badan pengatur independen dan aspek-aspek pemberdayaaan profesi akuntan publik. Sebab, sanksi pidana dalam Pasal 55 dan 56 sangat merugikan profesi akuntan publik karena profesi ini sangat sensitif terhadap kepercayaan publik.

“Jangankan sanksi pidana, sanksi pencabutan atau pembekuan izin, pemberitaan negatif tentang akuntan publik saja yang belum tentu benar akan meruntuhkan nasib dan kredibilitas akuntan publik yang bersangkutan. Lalu, mengapa profesi akuntan publik ini diperlakukan berbeda dengan profesi dokter, notaris, advokat sebagaimana dijamin Pasal 28H ayat (2) UUD 1945?”

Sebagaimana diketahui, pengujian ini diajukan oleh M Achsin, Anton Silalahi, Yanuar Mulyana, Rahmat Zuhdi, dan M. Zainudin yang berprofesi sebagai akuntan publik. Mereka menilai ketentuan pidana Pasal 55 dan 56 dalam UU Akuntan Publik bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) dan pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

Pemohon menilai kata ‘manipulasi’ dalam Pasal 55 dan 56 UU Akuntan Publik menimbulkan ketidakpastian hukum dan terkesan ambigu dan multitafsir. Kata “manipulasi” sulit dipahami karena perbuatan manipulasi tidak ditemukan dalam rumusan dasar KUHP sebagai ketentuan pokok hukum pidana.

Hal yang diatur dalam KUHP hanya mengenai pemalsuan surat. Pasal 55 dan 56 itu ditinjau dalam perspektif hukum pidana yang humanitas adalah tidak tepat dan tidak proporsional.

Menurutnya, frasa perbuatan “menghilangkan data atau catatan pada kertas kerja” seharusnya tidak termasuk tindak pidana, tetapi masuk ke wilayah pelanggaran administratif. Sebab, kertas kerja (dokumen pendukung) bukan dokumen final pekerjaan Akuntan, melainkan opini.

Tags: