ICSID, Medan Pertempuran Investor Asing dan Pemerintah
Berita

ICSID, Medan Pertempuran Investor Asing dan Pemerintah

Investor kerap kali memberi syarat kepada pemerintah negara tujuan investasi untuk menandatangani atau meratifikasi ICSID terlebih dahulu.

Oleh:
Rzk/M-3
Bacaan 2 Menit
ICSID, Medan Pertempuran Investor Asing dan Pemerintah
Hukumonline

 

Ia menilai Indonesia sebagai negara berkembang cenderung belum menerapkan pemisahan kekuasaan (separation of power) yang tegas, khususnya antara eksekutif dan legislatif. Tanpa pemisahan yang tegas, Hikmahanto berpendapat hampir mustahil pemerintah dipersalahkan oleh pengadilan. Kondisi inilah yang terjadi pada era 60-an, ketika ICSID belum eksis. Saat itu, pemerintah berkuasa terhadap lembaga peradilan, sehingga putusan pengadilan pun menuruti kepentingan pemerintah.

 

Si investor kan akan merasa bahwa ia tidak memiliki kesempatan yang fair, tandasnya. Namun, kepentingan investor asing bukan segala-galanya. Demi fairness (keadilan), kepentingan pemerintah juga perlu diakomodir. Makanya, menurut Hikmahanto, investor asing tidak bisa serta-merta membawa sengketa ke negara asalnya, karena ini menyangkut kedaulatan negara.

 

Kondisi inilah yang kemudian hendak diperbaiki oleh ICSID. Pada perkembangannya, ICSID begitu populer di kalangan investor yang merasa kepentingannya perlu dilindungi. Makanya, investor kerap kali mensyaratkan kepada pemerintah negara yang ingin dimasukinya, untuk menandatangani atau meratifikasi ICSID. Jadi, biasanya mereka akan di-pressure (tekan) untuk meratifikasi ICSID dan kalau ada sengketa memang akan ke ICSID, tukas Hikmahanto.

 

ICSID adalah lembaga independen yang lahir melalui rahim Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States. Konvensinya sendiri dirancang oleh Direktur Eksekutif International Bank for Reconstruction and Development (World Bank) pada 18 Maret 1965. Setelah diratifikasi oleh 20 negara pertama, konvensi dinyatakan resmi berlaku pada 14 Oktober 1966.

 

Hikmahanto menjelaskan prosedur yang berlaku di ICSID tidak jauh berbeda dengan prosedur arbitrase pada umumnya. Para pihak yang bersengketa memiliki hak istimewa (privelege) untuk memilih arbiter. Setelah itu, proses persidangan dimulai hingga muncul putusan.

 

Perbedaannya terletak pada mekanisme pembatalan putusan. Tidak seperti lazimnya arbitrase, putusan ICSID tidak dibatalkan melalui pengadilan, tetapi dengan mengajukan permohonan ke Sekretaris Jenderal ICSID. Pasal 52 Konvensi memaparkan alasan-alasan pembatalan, antara lain proses berjalan tidak semestinya, terjadi korupsi, atau majelis melebihi kewenangannya.

 

Nanti dalam pembatalan itu akan ada majelis arbiter adhoc yang dipilih para pihak, di luar arbiter yang memutus perkara tersebut sebelumnya. Jika perkara tersebut dibatalkan maka mereka harus mengulang kembali proses arbitrase di ICSID, paparnya.

 

Article 52

(1) Either party may request annulment of the award by an application in writing addressed to the Secretary-General on one or more of the following grounds:

(a) that the Tribunal was not properly constituted;

(b) that the Tribunal has manifestly exceeded its powers;

(c) that there was corruption on the part of a member of the Tribunal;

(d) that there has been a serious departure from a fundamental rule of procedure; or

(e) that the award has failed to state the reasons on which it is based.

 

Kiprah Indonesia

Sejauh ini, konvensi yang juga populer disebut Washington Convention ini telah ditandatangani oleh 155 negara, 143 diantaranya telah menyerahkan instrumen ratifikasi, penerimaan atau persetujuannya.

 

Indonesia merupakan negara yang terbilang lamban merespon Washington Convention. Tiga tahun setelah disahkan, Indonesia baru menandatangani konvensi pada 16 Februari 1968. Tujuh bulan kemudian, Indonesia menyerahkan instrumen ratifikasi dan konvensi baru efektif berlaku pada Oktober 1968.

 

Pemerintah Indonesia sudah lebih dari sekali merasakan berproses di ICSID. Kalau saya tidak salah, pertama itu yang kasusnya Kartika Plaza, ujar Hikmahanto menyebut salah satu kasus Indonesia di ICSID. Kasus lainnya terkait divestasi Kaltim Prima Co. (KPC). Uniknya, dalam kasus terakhir ini (ICSID Case No. ARB/07/3), saling berhadapan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Kalimantan Timur.

 

Menurut Hikmahanto, kasus KPC tidak lazim karena yang seharusnya menjadi penggugat adalah investor asing, bukan justru pemerintah atau bagian dari pemerintah. Konvensi sudah jelas menyatakan bahwa yang menjadi tergugat adalah pemerintah atau subdivisionnya. Lucu kalau Pemerintah digugat subdivisionnya, tandas Hikmahanto.

 

Di luar dua kasus itu, hasil penelusuran hukumonline pada situs ICSID, ditemukan beberapa kasus lain yang melibatkan Indonesia. Salah satunya adalah kasus yang diajukan oleh CEMEX Asia Holding Ltd (ICSID Case No. ARB/04/3). Kasus yang didaftarkan pada 27 Januari 2004 ini ditangani oleh panel tribunal yang dipimpin oleh L. Yves Fortier, asal Kanada. Setelah berproses selama tiga tahun, kedua belah pihak akhirnya mencapai kesepakatan pada 23 Februari 2007.

 

Kasus lain, Pemerintah Indonesia digugat oleh Amco Asia Corporation (ICSID Case No. ARB/81/1), sebuah perusahaan konstruksi dan bisnis hotel. Didaftarkan pada 27 Februari 1981, kasus ini ditangani oleh panel tribunal yang diketuai oleh Berthold Goldman, asal Perancis. Berbeda dengan kasus Cemex, kasus Amco berjalan cukup alot. Setelah diputus pada 20 November 1984, para pihak kemudian mengajukan pembatalan pada 18 Maret 1985. Setelah itu, perkara diajukan kembali 24 Juni 1987 dengan panel tribunal yang berbeda.

 

Seorang praktisi hukum mengemukakan alasan sederhana kenapa orang memilih jalur penyelesaian sengketa alternatif atau populer disebut alternative dispute resolution (ADR). Karena masyarakat tidak percaya lagi pada pengadilan. Praktisi hukum lainnya memiliki alasan yang jauh lebih simpel. Lebih enak menyelesaikan perkara lewat arbitrase dibanding ke pengadilan. 

 

Pertanyaannya, bagaimana kalau di suatu negara, pengadilan dan ADR tidak bisa dipercaya? Atau bahkan, bagaimana kalau keduanya sudah tidak terasa enak lagi bagi para pihak? Tengoklah ke negeri tetangga, mungkin itu jawabannya. Di era globalisasi seperti sekarang, segala sesuatunya sudah bersifat trans nasional. Begitu pula dalam konteks penyelesaian sengketa.

 

Bermodalkan asas kebebasan berkontrak, pihak bersengketa diperkenankan memilih institusi penyelesaian sengketa di luar negeri. Dalam hal ini, ADR memiliki keunggulan karena tidak terbentur dengan masalah yurisdiksi wilayah. Seiring dengan pesatnya perkembangan hukum internasional, opsi forum ADR di dunia pun sangat beragam. Salah satunya adalah International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID).

 

Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana menjelaskan ICSID adalah forum ADR yang memiliki dua karakteristik khusus. Pertama, ICSID hanya menyelesaikan sengketa yang menyangkut investasi. Kedua, pihak yang berperkara adalah investor dan pemerintah sebuah negara dimana investor tersebut menanamkan modalnya. Jadi, lanjut Hikmahanto, yang dipersengketakan adalah tindakan pemerintah yang merugikan investor asing.      

 

Orang bilang ya ke pengadilan dong, karena ini keputusan pemerintah (maka) pergi ke Pengadilan Tata Usaha Negara, ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini. Usulan ini bisa dikatakan tepat apabila investornya adalah orang lokal. Lain halnya, jika investor asing. Hikmahanto khawatir penyelesaian melalui PTUN akan memunculkan perlakuan diskriminatif.

Tags: