IKAHI Bersiap Uji UU Sistem Peradilan Pidana Anak
Utama

IKAHI Bersiap Uji UU Sistem Peradilan Pidana Anak

Kriminalisasi terhadap hakim adalah satu bentuk teror.

Oleh:
agus sahbani
Bacaan 2 Menit
Hakim dapat dipidana berdasarkan UU Sistim Peradilan Pidana Anak. Foto: ilustrasi (Sgp)
Hakim dapat dipidana berdasarkan UU Sistim Peradilan Pidana Anak. Foto: ilustrasi (Sgp)

Baru saja disetujui rapat paripurna DPR, UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) langsung mendapat ‘ancaman’ judicial review. Langkah hukum ini akan ditempuh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Organisasi hakim terbesar di Indonesia ini mempersoalkan ketentuan sanksi pidana bagi aparat penegak hukum, khususnya hakim.

“Pengurus IKAHI sebenarnya sudah beberapa kali menyatakan keberatan disahkannya UU Sistem Peradilan Anak, khusus pasal ancaman pidana atau kriminalisasi bagi hakim. Hakim-hakim di daerah tengah mendiskusikan untuk menempuh upaya hukum uji materi ke MK karena tidak ada upaya hukum lain,” kata Juru Bicara MA, Djoko Sarwoko saat dihubungi hukumonline, Senin (9/7). 

Djoko mengaku dirinya sebenarnya sepakat jika memang UU SPPA mengedepankan aspek perlindungan anak secara maksimal. Tetapi, adanya ancaman pidana (kriminalisasi) bagi aparat penegak hukum adalah sesuatu yang berlebihan. Menurut dia, hakim saat menjalankan tugas sudah terikat dengan kode etik profesi. Selain itu, hakim juga diawasi oleh MA dan KY serta LSM.

“Jadi sebenarnya sanksi administratif bagi aparat penegak hukum yang diatur Bab XI UU Sistem Peradilan Anak saja sudah cukup. Ini malah ditambah satu bab lagi yang mengkriminalisasikan hakim yang berisi lima pasal, kewibawaan hakim bisa ‘rontok’,” kata Djoko.

Menurutnya, kriminalisasi terhadap hakim sebagai ‘teror’ yang seolah membatasi dan mengancam independensi para hakim dalam memutus perkara. Padahal, independensi hakim dijamin Pasal 24 UUD 1945 yang biasanya diikuti dengan kekebalan profesi (judicial immunity).

“Dia (hakim, red) menuntut gaji belum dipenuhi, malah sekarang diancam pidana, menurut saya itu tindakan ‘teror’ terhadap para hakim agar tidak independen lagi. Aturan sanksi pidana bagi hakim itu jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 24 UUD 1945 karena hak konstitusional hakim sudah dirampas,” tegasnya.

Ditegaskan Djoko, hakim tidak kebal hukum jika dalam menjalankan profesinya melakukan tindak pidana korupsi/suap atau tindak pidana lain. Tetapi, kalau hakim hanya melakukan kesalahan yudisial (judicial error) tidak serta merta harus dipidana/dihukum. 

“Saya juga heran kenapa pembentuk undang-undang berpikiran seperti itu? Hakim tidak mempunyai kekuatan apa-apa, anggaran juga tergantung pembentuk undang-undang. Kalau pendekatan kekuasaan seperti ini akan terjadi tirani legislatif yang juga bentuk kejahatan,” kritiknya.      

Saat ini, kata Djoko, IKAHI tengah menunggu RUU SPPA ditandatangani presiden untuk pengesahan dan diundangkan dalam lembaran negara. “Kan waktunya satu bulan baru bisa menjadi undang-undang, setelah itu baru IKAHI akan gugat ke MK, saya kira tidak hanya IKAHI, nanti aparat penegak hukum lain (polisi dan jaksa) akan menggugat.”

Sebagaimana diketahui, RUU SPPA memuat aturan sanksi pidana dan administratif bagi penegak hukum yang tak menjelaskan tugas dan kewenangannya dengan baik. Termasuk, kewajiban untuk tidak mempublikasikan identitas anak yang bermasalah secara hukum. Bila ini dilanggar maka sanksi pidana siap menunggu si ‘pembocor’.

Ada beberapa sanksi pidana untuk penegak hukum dan pejabat pengadilan dalam RUU ini. Pertama, sanksi pidana maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp200 juta bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim yang tak melaksanakan kategori tindak pidana yang bisa didiversi (bagi ancaman pidana di bawah 7 tahun) dan tidak bisa didiversi (Pasal 95).

Kedua, sanksi pidana kepada penyidik, penuntut umum dan hakim paling lama dua tahun bagi yang sengaja melakukan penahanan kepada anak yang lewat dari batas waktu sebagaimana diatur dalam RUU ini. Hal ini bertujuan agar penegak hukum profesional dalam menjalankan tugasnya.         

Tingkat Pemeriksaan

Jangka Waktu Penahanan

Perpanjangan

Penyidikan

7 hari (oleh penyidik)

8 hari (oleh JPU)

Penuntutan

5 hari (oleh JPU)

5 hari (oleh Hakim PN)

Persidangan

10 hari (oleh hakim)

15 hari (oleh Ketua PN)

Tingkat Banding

10 hari (oleh hakim banding)

15 hari (oleh Ketua PT)

Tingkat Kasasi

15 hari (oleh hakim kasasi)

20 hari (oleh Ketua MA)

Sumber: Naskah RUU SPPA

Terpisah, Wakil Ketua KY Imam Anshori Saleh mengatakan langkah IKAHI yang akan memohon pengujian UU SPPA ke MK sudah tepat dan bijak karena semua hakim adalah anggota IKAHI. “Saya kira langkah IKAHI sangat tepat, saya yakin nantinya MK akan memutus secara adil yang tentunya MK akan melihat Pasal 24 UUD 1945 sebagai batu uji dalam pengujian UU Sistem Peradilan Anak,” kata Imam. 

Menurutnya, di negara manapun tidak ada hakim bisa dipidana karena mengadili perkara, kecuali menyimpang dari aturan (pidana) yang berlaku. “Kalau menyimpang dari soal waktu penahanan pidana anak sejauh ada alasan yang jelas, saya pikir masih bisa ditolerir karena itu menyangkut prosedur,” katanya.

Tags: