Imparsial: 86 Persen Vonis Mati Lewat Sidang Virtual Tidak Manusiawi
Terbaru

Imparsial: 86 Persen Vonis Mati Lewat Sidang Virtual Tidak Manusiawi

Memberikan vonis pidana mati melalui sidang virtual tidak memberikan keadilan substantif bagi terdakwa, lebih dari itu juga tidak manusiawi. Mendesak Ketua MA dan Jaksa Agung untuk menghentikan penuntutan dan penjatuhan vonis pidana mati dalam proses persidangan yang dilakukan secara virtual.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Memperingati Hari Anti Hukuman Mati Internasional setiap tanggal 10 Oktober, Imparsial mendesak Presiden Joko Widodo untuk melakukan evaluasi terhadap vonis hukuman mati. Direktur Eksekutif Imparsial, Gufron Mabruri, mencatat ada 111 negara yang sudah menghapus hukuman mati dari sistem hukumnya. Masih ada 55 negara yang masih menerapkan hukuman mati dimana 36 negara diantaranya melakukan moratorium praktik hukuman mati.

“Hukuman mati tidak terbukti menyelesaikan permasalahan maraknya kejahatan di suatu negara, apalagi hukuman ini tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM,” kata Gufron dikonfirmasi, Selasa (11/10/2022).

Sayangnya, Indonesia termasuk negara yang masih menerapkan vonis pidana mati. Imparsial mencatat periode 2019-2022 terdapat 232 terpidana mati baru. Sejak 2014 total terpidana mati di era pemerintahan Presiden Joko Widodo sebanyak 453 orang. Mayoritas terpidana mati adalah narapidana kasus narkotika, pembunuhan, pemerkosaan disertai pembunuhan, pemerkosaan dan terorisme. Sebanyak 217 terpidana mati adalah warga negara Indonesia, dan 16 orang warga negara asing.

Gufron menghitung dari 232 terpidana mati di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, terdapat 185 terpidana divonis hukuman mati pada saat situasi pandemi Covid-19. Dari 185 terpidana itu sebanyak 86 persen divonis pidana mati melalui sidang virtual dan 14 persen melalui sidang langsung.

Menurut Gufron, sidang virtual ini tidak bisa maksimal mengungkap kebenaran materil dalam tindak kejahatan. Penasihat hukum juga sulit menemui kliennya, sehingga tidak optimal melakukan pembelaan. Ketika bersidang terdakwa biasanya hadir melalui video di kantor polisi atau tempat penahanan lainnya dan didampingi aparat. Tentu saja hal tersebut tidak menjamin terdakwa bisa bebas memberikan keterangan karena ada potensi intimidasi penyidik. Ditambah lagi masalah teknis yang membuat proses persidangan virtual terganggu.

“Mencabut nyawa melalui sidang virtual sudah jelas tidak memberikan keadilan substantif bagi terdakwa, lebih dari itu juga tidak manusiawi,” ujar Gufron.

Ia menilai sistem peradilan di Indonesia masih memerlukan banyak perbaikan, sehingga tidak layak jika menerapkan hukuman mati. Apalagi tidak sedikit kasus pidana mati yang terindikasi peradilan sesat (unfair trial). Misalnya, kasus terpidana mati Zulfikar Ali yang meninggal terlebih dulu sebelum mendapat grasi. Kasus Zainal Abidin dimana berkas PK-nya terselip di MA sampai 10 tahun sampai akhirnya dia dieksekusi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait