Jangankan bersaing dengan film luar negeri, untuk mendapatkan hati dari pemirsa dalam negeri saja sangat sulit. Jikapun film Petuangan Sherina dan Jelangkung meledak di pasar karena memang tidak ada lagi film Indonesia yang bisa ditonton pada saat itu.
Munculnya film-film independen belakangan merupakan terobosan dari sineas muda untuk menciptakan karya tanpa menghiraukan regulasi yang ada. Tentunya, dengan harapan akan mendapatkan tempat di hati penonton dalam negeri.
Harry Simon dari industri film nasional mengatakan bahwa untuk mengairahkan pasar domestik tidak mudah dan penuh dengan tantangan. "Faktor yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah masalah pembajakan film," ujar Harry.
Maraknya pembajakan film dalam kurun waktu tujuh tahun belakangan ini tidak mengalami penurunan. Bahkan, semakin menjadi-jadi dan sangat mengganggu distributor film.
Harry mengeluhkan, penegakan hukum pada industri perfilman sangat lemah, tidak konsisten, dan tidak konsekuen. Menurut Harry, keadaan tersebut menyebabkan timbulnya sikap apatis di kalangan seniman dan produser film. "Keadaan ini tidak boleh dibiarkan," cetus Harry.
UU represif
Berdasarkan penelusuran hukumonline, industri film nasional mengalami stagnasi dikarenakan keberadaan UU No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman. Undang-undang tersebut terbukti sangat represif bagi para sineas untuk berkarya.
Pasalnya dalam setiap penyelenggaraan film, sineas tadi harus memperoleh izin di sana-sini yang praktis akan menyebabkan tingginya anggaran sebuah produksi film. Paling tidak, jumlah perizinan yang ada dalam undang-undang tersebut berjumlah 38 buah.