Topo melihat perubahan Perma Mediasi ini untuk lebih memperkuat proses pencarian keadilan yang bisa lebih diterima para pihak yang bersengketa. “Kita berharap keberhasilan instrumen mediasi ini bisa lebih meningkat lagi, terutama untuk mengurangi tumpukan perkara di pengadilan dan pengadilan di atasnya,” kata Topo.
Apalagi, lanjutnya, tren praktik di banyak negara mengenai alternatif penyelesaian sengketa dengan proses mediasi lebih dikedepankan ketimbang penyelesaian sengketa di pengadilan. “Mediasi kan banyak keuntungannya yang lebih mengedepankan win-win solution, berbeda dengan pengadilan yang sifatnya win and lost (menang-kalah),” tambahnya.
.mediasipengadilan umum dan agama hanya sekitar 4 persen dari seluruh jumlah perkara yang terdaftar di pengadilan tingkat pertama.
Meskipun fakta tersebut mengecewakan, saya masih percaya mediasi perlu diperkuat dengan menciptakan peraturan baru yang lebih progresif untuk mendorong para pihak menempuh mediasi secara sungguh-sungguh,” kata Mohammad Saleh di hadapan peserta Forum Mediasi Asia Pasifik di Hotel Santosa Villa & Resort, Nusa Tenggara Barat, Rabu (10/2).
telah membentuk Kelompok Kerja yang diantaranya bertugas merevisi Perma No. 1 Tahun 2008 ini.Cakupan perubahan peraturan ini mengatur ketentuan pengenaan hukuman denda kepada pihak yang tidak beriktikad baik dalam proses mediasi. Selain itu, dikenal kesepakatan sebagian dan kesepakatan perdamaian melalui mediasi oleh para ketua adat.
“Juga penciptaan aturan pemanfataan teknologi informasi yang memungkinkan semua perkara yang berhasil maupun tidak berhasil dimediasi tercatat dalam administrasi pengadilan, sehingga kita punya data akurat mediasi,” kata Saleh menjelaskan.
Dia berharap melalui perma ini keadilan dapat diwujudkan melalui proses mediasi, dan dapat mencapai penyelesaian yang dapat diterima kedua belah pihak. Ditegaskan Saleh, proses dan hasil mediasi bercirikan pendekatan konsensus para pihak bersengketa sendiri dengan bantuan mediator yang tidak memiliki kewenangan memaksakan penyelesaian.
Perubahan Perma Mediasi ini merupakan perubahan ketiga. Sebelumnya, aturan proses mediasi diatur Perma No. 2 Tahun 2003. Namun, lantaran hakim pemeriksa perkara tidak diperbolehkan menjadi mediator dalam perkara yang ditanganinya, Perma No. 2 Tahun 2003 diubah menjadi Perma No. 1 Tahun 2008. Sementara hukum acara perdata (Pasal 130 HIR) secara jelas menyebut sebelum mulai memeriksa perkara, hakim pemeriksa perkara diperintahkan terlebih dahulu melakukan mediasi (perdamaian).
“Karena alasan itu dan alasan lainnya, Perma No.2 Tahun 2003 diganti Perma No. 1 Tahun 2008 yang memperbolehkan hakim pemeriksa selain mediator (bersertifikat) nonhakim yangmemediasi sengketa mereka,” katanya.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso menilai wajar Perma No. 1 Tahun 2008 direvisi jika memang Perma tersebut dinilai memiliki kelemahan yang harus diperbaiki. “Saya yakin, terbitnya Perma No. 1 Tahun 2016 ini tentunya meminta masukan pihak-pihak berkepentingan seperti, mediator, hakim, dan advokat dalam rangka penyempurnaan,” kata dia.