Ingin Revisi Aturan Jaminan Hari Tua, Perhatikan Tiga Hal

Ingin Revisi Aturan Jaminan Hari Tua, Perhatikan Tiga Hal

Syarat minimal masa kepesertaan tetap penting.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Kantor BPJS Ketenagakerjaan. Foto: RES
Kantor BPJS Ketenagakerjaan. Foto: RES
Pemerintah telah mengatur program jaminan hari tua (JHT) yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan dengan menerbitkan sejumlah peraturan. Misalnya PP No. 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan JHT,  yang direvisi lewat PP No. 60 Tahun 2015. Ada juga Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara Dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT.

Ketua Umum Pimpinan Pusat SP KEP SPSI, R Abdullah, mengatakan secara filosofis program JHT merupakan jaminan yang diberikan negara kepada rakyatnya untuk menghadapi resiko sosial berupa hari tua. UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menyebut program JHT memberi uang tunai kepada peserta yang masuk usia pensiun, cacat total tetap atau meninggal dunia. Kemudian, pembayaran manfaat JHT dapat diberikan sebagian kepada peserta yang setelah masa kepesertaan minimal 10 tahun.

Lalu, PP No. 46 Tahun 2015 mengatur bagi peserta dengan kepesertaan minimal 10 tahun bisa mengambil manfaat JHT paling banyak 30 persen yang ditujukan untuk kepemilikan rumah atau 10 persen berupa uang tunai untuk keperluan lain.

Dalam program JHT yang dikelola PT Jamsostek, kata Abdullah, Pasal 15 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja  mengatur peserta dengan masa kepesertaan minimal 5 tahun dan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa mencairkan dana JHT. Nah, ketika PP No. 46 Tahun 2015 terbit, ada penolakan dari sebagian serikat pekerja sebab mereka tidak bisa mengambil manfaat JHT ketika mengalami PHK dengan masa kepesertaan minimal 5 tahun.

Menyikapi protes itu, Pemerintah merevisi PP No. 46 Tahun 2016 menjadi PP No. 60 Tahun 2015. Intinya, membolehkan peserta yang mengalami PHK untuk mengambil seluruh dana JHT tanpa ada syarat minimal kepesertaan. “PP No. 60 Tahun 2015 dan Permenaker No. 19 Tahun 2015 tidak sesuai dengan filosofi JHT yakni jaminan sosial yang diberikan kepada peserta yang mengalami resiko hari tua. Oleh karenanya regulasi itu perlu direvisi,” kata Abdullah dalam diskusi di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (03/5).

Guna menjaga filosofi JHT, Abdullah mengusulkan dua kebijakan yang bisa diterbitkan Pemerintah. Pertama, tunjangan PHK atau pengangguran. Para pekerja yang mengalami PHK dan menganggur tidak perlu lagi mengambil dana JHT karena sudah dijamin lewat tunjangan tersebut. Kedua, pekerja berstatus kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) diusulkan bisa mendapat pesangon yang besarannya dihitung secara proporsional. Pesangon itu diharapkan dapat membantu pekerja yang kontraknya habis untuk mencari pekerjaan baru sehingga dana JHT bisa digunakan ketika masuk hari tua.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai jika pengusaha dan pekerja melaksanakan kewajibannya sebagaimana amanat Pasal 155 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka pekerja yang mengalami PHK kecil kemungkinannya mencairkan dana JHT. Sebab pengusaha tetap membayar upah dan hak-hak pekerja sampai ada penetapan PHK.

Menurut Timboel, syarat minimal masa kepesertaan untuk mencairkan manfaat JHT bagi peserta yang mengalami PHK adalah penting agar manfaat yang diterima peserta lebih besar. Pasalnya, BPJS Ketenagakerjaan akan menempatkan dana JHT yang dikumpulkan dalam instrumen investasi yang memberikan imbal hasil di atas rata-rata bunga deposito BI.

Timboel menawarkan usulan ketiga yaitu mengembalikan syarat masa kepesertaan minimal 5 tahun bagi peserta yang mengalami PHK, ketentuan itu pernah berlaku dalam program JHT semasa dikelola PT Jamsostek. Mengingat UU SJSN dan UU BPJS tidak mengatur ketentuan itu maka Pemerintah perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengadopsi ketentuan sebagaimana diatur Pasal 15 UU No. 3 Tahun 1992 itu. “Jika Perppu itu sudah diterbitkan maka pemerintah harus merevisi PP No. 60 Tahun 2015 dan Permenaker No. 19 Tahun 2015,” urai Timboel.

Kasubdit Pembinaan Jamsos dan HAL Kementerian Ketenagakerjaan, K Guntoro, berpendapat bisa saja regulasi terkait JHT yang ada saat ini diubah agar program itu sesuai dengan filosofinya. Menurutnya Pemerintah akan mengakomodasi usulan itu jika antar pemangku kepentingan seperti serikat pekerja dan asosiasi pengusaha sepakat.

Namun Guntoro mengingatkan cantolan hukum untuk mengembalikan syarat mencairkan dana JHT berupa masa kepesertaan minimal 5 tahun dan mengalami PHK cukup sulit karena UU SJSN mengamanatkan sebagian dana JHT bisa dicairkan jika dengan minimal masa kepesertaan 10 tahun. “Tapi intinya Pemerintah sebagai regulator akan mengakomodasi keinginan peserta (JHT),” paparnya.

Kepala Divisi Perluasan Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, Iswandhy Syaruly, mengatakan PP No. 60 Tahun 2015 dan Permenaker No. 19 Tahun 2015 tidak lepas dari tuntutan yang berkembang ketika itu. Namun, Iswandhy menyerahkan kepada pemangku kepentingan jika syarat yang digunakan untuk mengambil dana JHT ingin mengadopsi ketentuan sebagaimana pasal 15 UU No. 3 Tahun 1992. “Kami selaku operator akan melaksanakan amanat sesuai aturan yang berlaku,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait