Ini Akibat Hukum Jika Perusahaan BUMN Pailit
Utama

Ini Akibat Hukum Jika Perusahaan BUMN Pailit

Pada praktiknya kepailitan yang terjadi pada BUMN memiliki kompleksitas yang begitu tinggi, apalagi jika membahas mengenai tahapan eksekusi, yakni penyitaan dan pembagian aset.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 9 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Perusahaan penerbangan milik negara, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk lolos dari pailit setelah majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Pusat) menolak permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh My Indo Airlines (MYIA). Dalam sidang putusan yang digelar pekan lalu, Kamis (21/10), Majelis Hakim Heru Hanindyo menjelaskan utang kreditur tidak dapat dibuktikan secara sederhana, sehingga permohonan PKPU ditolak.

Pada dasarnya mekanisme mempailitkan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) khususnya Persero tak memiliki perbedaan dengan perusahaan swasta, yakni mengacu pada Pasal 2 ayat (1) UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Namun pada praktiknya kepailitan yang terjadi pada BUMN memiliki kompleksitas yang begitu tinggi, apalagi jika membahas mengenai tahapan eksekusi, yakni penyitaan dan pembagian aset, hal tersebut bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan. Maka tak heran jika BUMN kerap disebut ‘kebal pailit’.

Beberapa perusahaan BUMN sebenarnya pernah dijatuhi pailit oleh pengadilan niaga, salah satunya adalah Putusan Pengadilan Negeri Surabaya yang memutus pailit PT Kertas Leces (Persero). Putusan ini akhirnya dikuatkan oleh Mahkamah Agung (MA) lewat putusan Nomor 43 PK/Pdt.Sus-Pailit/2019 tertanggal 28 Maret 2019, dimana Hakim Ketua H. Hamdi dan Hakim Anggota Sudrajad Dimyati dan H. Panji Widagdo menyatakan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali PT. Kertas Leces (Persero) tersebut tidak dapat diterima.

Dan di banyak kasus, putusan pailit yang dijatuhkan PN Niaga kepada perusahaan BUMN justru dibatalkan oleh MA. Contohnya PT Hutama Karya (Persero) yang bebas dari pailit setelah MA membatalkan putusan pailit pada tahapan peninjauan kembali. (Baca: Baru Lolos dari Lubang Pailit, Garuda Indonesia Kembali Dimohonkan PKPU)

Kurator senior Jamaslin James Purba James Purba pernah menyampaikan bahwa hingga saat ini belum ada BUMN yang pailit dan sampai pada tahapan eksekusi aset. Mengingat mayoritas kasusnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Namun, James berpandangan tidaklah tepat jika aset BUMN masih dianggap sebagai aset Negara jika bentuk BUMN yang bersangkutan adalah Perseroan Terbatas (PT).

“Tak betul aset BUMN itu aset negara jika BUMN tersebut berbentuk PT, UU Pailit bunyinya begitu,” kata James kepada Hukumonline beberapa waktu lalu.

Yang jelas, lanjut James, akibat hukum ketika suatu perusahaan telah diputuskan pailit oleh pengadilan, maka semua aset-nya berada dalam sita umum (dalam rangka eksekusi aset). Sehingga, James berpandangan dari perspektif kurator bahwa proses eksekusi boedel pailit tidak akan memerlukan persetujuan menteri karena kurator melaksanakan putusan hakim.

Sebagai perusahaan yang dimiliki negara, tentu konsekuensi hukum dari pailitnya perusahaan BUMN akan berbeda dengan perusahaan swasta. Tak hanya berdampak pada debitor dan kreditor, BUMN yang berstatus pailit juga berdampak kepada negara. Lalu seperti apa dampak hukumnya jika terjadi pailit kepada perusahaan BUMN?

Dikutip dalam artikel Klinik Hukumonline “BUMN Pailit, Ini Akibat Hukumnya”, disebutkan bahwa BUMN memiliki 2 bentuk yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perusahaan Umum (Perum). Secara garis besar, apa beda keduanya? Hal ini dapat diketahui dari definisi masing-masing yang dinyatakan dalam Pasal 1 angka 2 dan 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN):

Pasal 1 angka 2: Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.

Pasal 1 angka 4 UU BUMN: Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

Dari ketentuan pasal tersebut, dapat dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU 37/2004) yang berbunyi: Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Namun BUMN yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU 37/2004 di atas adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham (Penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU 37/2004). Sehingga, dapat dikatakan bahwa BUMN yang hanya bisa diajukan permohonan pailit oleh Menteri Keuangan adalah BUMN Perum.

Hal serupa juga ditegaskan oleh Ahli Kepailitan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Hadi Subhan dalam artikel Kompleksitas Pailit BUMN Persero bahwa hanya jenis BUMN Perum yang dapat dipailitkan oleh Menteri Keuangan, sementara untuk BUMN Persero berlaku ketentuan kepailitan pada umumnya. Maka dengan kata lain, BUMN Persero bisa diajukan permohonan pailit oleh permohonannya sendiri selaku debitor maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya (Pasal 2 ayat (1) UU 37/2004).

Terlepas dari adanya perbedaan pihak yang berwenang mengajukan permohonan kepailitan, pada prinsipnya syarat kepailitan tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UU 37/2004. Singkatnya, Hadi Subhan dalam materi yang dipaparkannya saat Webinar Hukumonline bertajuk Kupas Tuntas Rencana Moratorium Kepailitan dan PKPU menerangkan syarat permohonan pailit adalah: Utang yang tidak dibayar lunas, sudah jatuh waktu, dan dapat ditagih (Opeisbaar); terdapat minimal 2 kreditor; adanya pembuktian sederhana.

Adapun pembuktian sederhana ini berkaitan dengan bunyi Pasal 8 ayat (4) UU 37/2004 dan penjelasannya yaitu adanya fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana, yang maksudnya adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang dialihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.

Meski dapat dipailitkan, isu ‘BUMN Kebal Pailit’ masih ramai diperbincangkan, sebab Mahkamah Agung selalu bisa membatalkan kalau ada kepailitan BUMN, begitu yang disampaikan oleh Hadi Subhan sebagaimana dikutip dalam artikel Meski Pengadilan Nyatakan Pailit, Aset BUMN Tak Akan Mudah Disita (hal. 1).

Akibat Hukum bagi BUMN yang Pailit

Dalam hal BUMN dinyatakan pailit, maka ada beberapa akibat hukum terhadap debitur (BUMN) itu sendiri dan kreditur, serta akibat hukum terhadap negara.

Pertama, akibat hukum BUMN pailit terhadap debitur. Dalam Pasal 21 dan 22 UU 37/2004 kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan, namun tidak berlaku terhadap: a. benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 hari bagi debitur dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu; b. segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau c. uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.

Kemudian debitur kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan dan dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat (Pasal 24 ayat (1) dan (2) UU 37/2004), semua perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan itu menguntungkan harta pailit (Pasal 25 UU 37/2004).

Dan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum debitur pailit yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Dalam hal ini harus dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, debitur dan pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum itu akan mengakibatkan kerugian kreditur. Namun terdapat pengecualian terhadap ketentuan pembatalan perbuatan hukum ini, yaitu jika perbuatan hukum tersebut wajib dilakukan oleh debitur berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang, seperti kewajiban pembayaran pajak (Pasal 41 dan penjelasannya UU 37/2004).

Kedua,akibat hukum BUMN pailit bagi kreditur. Jika BUMN dinyatakan pailit, berdasarkan Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27 UU 37/2004 disebutkan bahwa selama berlangsungnya kepailitan, tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokan, yang dalam hal ini dilakukan kurator.

Cara pembagian harta pailit dilaksanakan berdasarkan asas pari passu prorate parte, artinya harus dibagikan secara proporsional sesuai besar piutang dan kedudukan atau jenis kreditur masing-masing. Selengkapnya dapat Anda baca dalam Cara Bagi Harta Pailit Menurut Asas Pari Passu Prorata Parte.

Dalam hukum kepailitan, dikenal jenis kreditur terdiri dari kreditur konkuren, kreditur separatis dan kreditur preferen. Terdapat urutan prioritas pemenuhan kewajiban terhadap kreditur-kreditur tersebut. Simak ulasan lebih lanjut dalam Urutan Prioritas Pelunasan Utang dalam Kepailitan.

Ketiga,akibat hukum BUMN pailit bagi negara. Selain memberikan konsekuensi hukum kepada debitur sendiri dan kreditur, kepailitan BUMN juga bersinggungan dengan kekayaan negara. Hal ini dikarenakan pada BUMN seluruh atau sebagian besar modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan (Pasal 1 angka 1 UU BUMN).

Perlu dipahami, pemisahan kekayaan negara dalam hal ini berarti pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tapi didasarkan pada prinsip perusahaan yang sehat (Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN).

Untuk BUMN Perum, Menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemegang saham negara pada Persero dan pemilik modal pada Perum (Menteri) tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang dibuat Perum dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum, kecuali apabila Menteri (Pasal 39 UU BUMN): baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan Perum semata-mata untuk kepentingan pribadi; terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum; atau langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perum.

Di sisi lain, jika kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan BUMN Perum tidak cukup menutup kerugian akibat kepailitan, maka setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian, kecuali bagi anggota direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, maka ia tidak ikut bertanggung jawab secara tanggung renteng (Pasal 55 ayat (2) dan (3) UU BUMN).

Jadi, Menteri hanya bertanggung jawab atas kerugian kepailitan BUMN Perum sebesar nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam BUMN Perum. Sementara terhadap BUMN Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip bagi Perseroan Terbatas (PT) dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).

Sama dengan BUMN Perum, dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban PT, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut (Pasal 104 ayat (2) UU PT).

Merujuk Pasal 104 ayat (4) UU PT, anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan PT apabila dapat membuktikan: kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan PT dan sesuai dengan maksud dan tujuan PT; tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.

Selanjutnya apabila kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian dewan komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh direksi dan kekayaan PT tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban PT akibat kepailitan tersebut, setiap anggota dewan komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota direksi atas kewajiban yang belum dilunasi (Pasal 115 ayat (1) UU PT).

Sebaliknya, anggota dewan komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kepailitan PT apabila dapat membuktikan (Pasal 115 ayat (3) UU PT): kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; telah melakukan tugas pengawasan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan PT dan sesuai dengan maksud dan tujuan PT; tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan oleh direksi yang mengakibatkan kepailitan; dan telah memberikan nasihat kepada direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan.

Karena dalam BUMN Persero terdapat kepemilikan saham oleh negara, perlu diketahui, pemegang saham PT tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama PT dan tidak bertanggung jawab atas kerugian PT melebihi saham yang dimiliki. Namun, ketentuan ini tidak berlaku jika (Pasal 3 UU PT): persyaratan PT sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan PT untuk kepentingan pribadi; pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT; atau pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan PT, yang mengakibatkan kekayaan PT menjadi tidak cukup untuk melunasi utang PT.

Sehingga negara selaku pemegang saham dalam BUMN Persero hanya bertanggung jawab atas kerugian kepailitan sesuai jumlah saham yang dimiliki, kecuali dalam keadaan-keadaan yang dikecualikan di atas. Meskipun dapat diajukan pailit, terdapat persoalan lain mengenai penyitaan aset BUMN di mana status kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara adalah termasuk keuangan negara (Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara).

Dikutip dari artikel Kompleksitas Pailit BUMN Persero, dalam pengamatan Hadi Subhan seringkali Mahkamah Agung berpendapat bahwa kekayaan negara itu tidak boleh disita, bahkan Mahkamah Konstitusi juga pernah menyatakan bahwa BUMN itu juga harus mengikuti sistem keuangan negara.

Tags:

Berita Terkait