Ini Pandangan Dua Pakar di Pengujian UU KPK
Berita

Ini Pandangan Dua Pakar di Pengujian UU KPK

Perlu ada kualifikasi atau pembatasan jenis tindak pidana tertentu yang dapat dijadikan dasar alasan pemberhentian sementara bagi pimpinan KPK.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pemohon Prinsipal Bambang Widjojanto beserta Saldi Isra dan Eddy O.S. Hiariej selaku ahli Pemohon berbincang-bincang seusai sidang uji materi UU KPK, Rabu (10/6). Foto: Humas MK
Pemohon Prinsipal Bambang Widjojanto beserta Saldi Isra dan Eddy O.S. Hiariej selaku ahli Pemohon berbincang-bincang seusai sidang uji materi UU KPK, Rabu (10/6). Foto: Humas MK
kembali digelar. Setelah pemerintah, kini giliran BW menghadirkan dua pakar hukum yakni Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Prof Saldi Isra dan Pakar Hukum Pidana dari Universitas Gadjah Mada Prof Eddy OS Hiariej.       Dia melanjutkan dengan pemilahan ini KPK dapat diproteksi dari serangan balik mengatasnamakan hukum agar upaya kriminalisasi tidak mudah dilakukan, meredam upaya teror terhadap pimpinan KPK, menentukan jenis tindak kejahatan yang tidak masuk kategori alasan pemberhentian sementara.     “Pemilahan jenis tindak pidana ini menjadi penting untuk menjamin penghomatan asas praduga tidak bersalah sebagai wujud jaminan perlakuan hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum seperti diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” dalihnya.      Menurutnya, tanpa ada pemilahan ini setiap pimpinan KPK sebagai orang yang paling rentan dilanggar haknya, terutama ketika menjalakan tugas penindakan yang berisiko tinggi. Kerentanan ini sangat potensial meruntuhkan KPK yang bertugas memberantas korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa yang berimplikasi menegasikan HAM yang dijamin konstitusi.        “Terlebih, UU KPK tidak menentukan berapa lama status pemberhentian sementara disematkan pimpinan KPK. Hal ini menguatkan Pasal 32 UU KPK memunculkan ketidakpastian hukum dan tidak mengadopsi asas praduga tak bersalah, sehingga harus dinyatakan bertentangan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai untuk jenis tindak pidana tertentu yang juga diberlakukan bagi pejabat lain,” katanya.   Sementara, Eddy menilai Pasal 32 UU KPK sangat diskriminatif dibandingkan sejumlah undang-undang lain yang mengatur proses pemberhentian jabatan publik lain ketika melakukan tindak pidana. Ketentuan itu tidak ada batasan jenis tindak pidana atau kejahatan yang berakibat tindak pidana apapun dapat dijadikan dasar pemberhentian sementara pimpinan KPK ketika ditetapkan sebagai tersangka.   Dia membandingkan dengan ketentuan (pemakzulan) bagi presiden dan wakil presiden dalam Pasal 7A UUD 1945. Ketentuan menyebut presiden bisa diusulkan untuk diberhentikan apabila telah melakukan tindak pidana penghianatan terhadap negara, korupsi/suap, dan tindak pidana berat lain. Demikian pula, dengan syarat pemberhentian anggota BPK, Komisi Yudisial, kepala daerah, dan jabatan publik lain yang menentukan secara limitatif jenis tindak pidana yang bisa menjadi dasar pemberhentian.         “Dalam UU Pemda, kepala daerah diberhentikan jika berstatus terdakwa korupsi, terorisme, makar, tindak pidana keamanan negara. Ini menunjukan adanya perlakuan diskrminasi di hadapan hukum,” dalihnya.      Dia memberi contoh ekstrem, Pasal 302 KUHP bisa mempidanakan pemilik ketika tidak memberi makan kepada hewan peliharaannya. Hal berarti pimpinan KPK dapat diberhentikan hanya karena melanggar Pasal 302 KUHP. “Ketika ada pimpinan KPK tidak memberi makan cukup kepada hewan peliharaannya, dia bisa diberhentikan dari jabatan pimpinan KPK karena sebagai kejahatan, meski ancaman pidananya hanya tiga bulan,” kata Eddy memberi gambaran.          Lewat tim kuasa hukumnya, BW  

Sebaliknya, pejabat negara lain, pemberhentian sementara dilakukan ketika status pejabat yang bersangkutan sudah berstatus terdakwa atau setelah ada putusan inkracht. Misalnya, hakim konstitusi atau ketua dan wakil ketua BPK diberhentikan dengan tidak hormat apabila dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ancaman pidana lima tahun lebih.

Dia meminta MK memberi tafsir konstitusional agar frasa “tersangka tindak pidana kejahatan” dimaknai dasar pemberhentian sementara pimpinan KPK khusus terhadap jenis tindak pidana berat, seperti korupsi, terorisme, makar atau yang mengancam keamanan negara. Lalu, penetapan tersangkanya setelah mendapatkan persetujuan dari presiden.
Sidang pengujian Pasal 32 ayat (1) huruf c dan ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang dimohonkan Pimpinan KPK Nonaktif Bambang Widjojanto (BW) terkait pemberhentian sementara pimpinan KPK pandangan

Dalam keterangannya, Saldi menilai ketentuan pemberhentian sementara pimpinan KPK ini mengandung kelemahan. Namun, upaya menutup kelemahan ini tidak dengan membatalkan ketentuan itu, tetapi seharusnya memberi penafsiran batasan makna dan ruang lingkup jenis tindak pidana yang dapat dijadikan dasar/alasan memberhentikan pimpinan KPK.

“Perlu pemilahan tindak pidana/kejahatan sebagai dasar pemberhentian pimpinan KPK, atau memilih tetap bertahan sebagai pimpinan KPK hingga ada putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap (inkracht) atau mengundurkan diri. Ini pilihan langkah bijak untuk menutup cela kriminalisasi dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi,” kata Saldi dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Anwar Usman.









Sangat Diskriminatif


impeachment




Atas dasar itu, menurutnya perlu ada kualifikasi atau pembatasan jenis tindak pidana tertentu yang dapat dijadikan dasar alasan pemberhentian sementara bagi pimpinan KPK. Seperti,  korupsi, terorisme, pelanggaran HAM berat, dan narkotika sebagai kejahatan luar biasa, kejahatan yang ancaman pidana 10 tahun ke atas. Selain itu, seyogyanya Pasal 32 UU KPK ditafsirkan secara restriktif (bersyarat). Artinya, pemberhentian sementara berlaku ketika kejahatan tertentu dilakukan saat bersangkutan masih memegang jabatan pimpinan KPK.   

mempersoalkanPasal 32 ayat (1) huruf c dan ayat (2) UU KPK terkait pemberhentian sementara pimpinan KPK ketika berstatus tersangka seperti yang dialami BW. Dia menganggap ketentuan itu diskriminatif karena memberi perlakuan berbeda antara pimpinan KPK dengan pejabat negara lain. Misalnya, ketika pimpinan KPK menjadi tersangka membuat mereka diberhentikan sementara yang bersifat tetap.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait