Inilah Poin-Poin Kontrak Bantuan Hukum 2015
Utama

Inilah Poin-Poin Kontrak Bantuan Hukum 2015

BPHN sudah menyiapkan template kontrak bantuan hukum. Mengatur pula pelepasan tanggung jawab jika terjadi force majeur.

Oleh:
HASYRY AGUSTIN/M. YASIN
Bacaan 2 Menit
Salah satu acara sosialisasi bantuan hukum di Jakarta. Foto: MYS
Salah satu acara sosialisasi bantuan hukum di Jakarta. Foto: MYS
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) terus memudahkan pelayanan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin melalui organisasi bantuan hukum (OBH). Salah satunya menyiapkan template kontrak, yakni Perjanjian Kerja Pelaksanaan Bantuan Hukum Bagi Orang Miskin/Kelompok Orang Miskin. Karakter utama perjanjian ini adalah pemberian pekerjaan.

Dalam salinan kontrak bantuan hukum yang diperoleh hukumonline, ada 12 pasal yang diatur. Meskipun demikian, tetap terbuka kemungkinan kepada OBH dan pihak Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil) untuk membuat klausula-klausula tambahan dalam addendum. Meskipun dibuat terpisah, addendum dianggap satu kesatuan dengan kontrak bankum.

Keinginan agar kontrak bankum tidak dibuat semacam klausula baku datang dari Erlin Cahaya S. Ketua Posbakumadin Probolinggo, Jawa Timur, ini berharap perjanjian bisa didiskusikan bersama sebelum diteken para pihak. “Kita perlu duduk bersama untuk membahas permasalahan yang dihadapi. Yang kerja kan kita, duduk bersama-sama agar tahu permasalahan masing-masing,” ujarnya kepada hukumonline saat diminta tanggapan atas Kontrak Bankum 2015, Senin (09/3).
Suara senada datang dari Daud Lende. Pengacara dari Posbakumadin Kefamenanu, NTT, ini menekankan pentingnya duduk bersama membahas besaran biaya bantuan hukum yang disebut dalam kontrak. Kondisi NTT, kata dia, tak mungkin disamakan dengan Jawa. “Sebaiknya  kalau bisa disesuaikan dengan kondisi, dilibatkan dalam hal penentuan biaya. Sehingga, biaya itu jangan samakan Jawa dengan Indonesia bagian timur. Harus disesuaikan dengan kondisi geografis. Rp10 juta per perkara,” ujar Daud.

Selama ini, sebenarnya OBH juga sudah menandatangani kontrak bankum saat para penerima yang lolos verifikasi dan akreditasi dikumpulkan BPHN di Jakarta. Kini, kontrak bankum 2015 bisa dilakukan antara OBH dengan Kanwil di daerah masing-masing agar lebih efisien. Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2013, Kanwil bisa bertindak untuk dan atas nama Menteri Hukum dan HAM. PP ini mengatur syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum, dan penyaluran dana bantuan hukum.

Kontrak bankum 2015 mengatur hak dan kewajiban para pihak, nilai kontrak, dan tata cara pengajuan anggaran. Negara menyediakan anggaran bantuan hukum untuk disalurkan kepada orang miskin lewat OBH. Salah satu rambu yang harus ditaati OBH adalah larangan mengalihkan pelaksanaan pekerjaan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 5 ayat (9) salinan Kontrak Bankum 2015 menyebutkan “Pihak Kedua tidak dapat mengalihkan pelaksanaan pekerjaan berdasarkan perjanjian kerja ini kepada pihak lain, kecuali apabila terdapat alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis menurut ketentuan dalam perjanjian kerja ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan persetujuan dari pihak pertama”.

Klausula lain yang diatur adakah keadaan memaksa atau force majeur. Dalam salinan kontrak, ada klausula pelepasan tanggung jawab. Pihak pertama dan pihak kedua tidak bertanggung jawab atas keterlambatan atau kegagalan dalam memenuhi perjanjian kerja, baik langsung maupun tidak langsung disebabkan force majeur. Force majeur adalah keadaan di luar kendali dan kemampuan kedua belah pihak, misalya bencana alam, kebakaran, banjir, pemogokan umum, perang, pemberontakan, revolusi, maker, huru-hara, dan terorisme.

Jika OBH mengalami keadaan memaksa tadi, maka ia harus memberitahukan kondisi itu secara tertulis kepada Kanwil/Kementerian paling lambat 14 hari kalender setelah terjadinya force majeur.

Jika terjadi perselisihan sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian kerja, maka penyelesaiannya lewat musyawarah utuk mufakat. Jika tidak tercapai, maka perselisihan itu akan dijadikan bahan evaluasi dalam rangka verifikasi dan akreditasi penyaluran bantuan hukum tahun berikutnya.

Direktur LBH Dharma Yustisia NTB, Lalu Rusmat, tak terlalu mempersoalkan substansi kontrak. Sejauh ini tidak ada masalah dengan kontrak tersebut. Ia hanya berharap pengurusan administrasi kontrak dan pendanaan bisa lebih dipermudah lewat Kanwil Hukum dan HAM. “Kalau bisa harapan kita urusan adminitrasi di Kanwil saja,’ ujarnya.
Bagaimanapun, dana bantuan hukum yang dianggarkan lewat APBN dan disalurkan lewat OBH harus dipertanggungjawabkan. Jika salah urus, dana bantuan hukum itu bisa menjadi senjata makan tuan dalam pemberian hukum kepada orang miskin.
Tags:

Berita Terkait