Jaga Martabat Pengadilan, Jurnalis Perlu Gunakan Istilah Hukum yang Tepat
Berita

Jaga Martabat Pengadilan, Jurnalis Perlu Gunakan Istilah Hukum yang Tepat

Komisi Yudisial memandang penting peran media massa untuk mewujudkan akuntabilitas pengadilan.

Aida Mardhatillah
Bacaan 2 Menit

“Terlebih, terdapat beberapa media massa yang menitik beratkan, yang penting tulisan dan berita yang disajikan banyak yang baca. Tanpa, memikirkan diksi yang tepat untuk digunakan dalam tulisan,” tuturnya.

Padahal, kata dia, istilah dan bahasa dalam sebuah tulisan memiliki pengaruh yang kuat, sebab setiap pembaca memiliki pandangan dan tafsiran yang berbeda-beda dalam sebuah tulisan yang dimuat dalam media massa. “Maka, memnggunakan bahasan yang tepat dapat memberikan sebuah manfaat kepada pembaca,” ujarnya.

Ia mencontohkan seperti istilah ‘saksi’ dan ‘ahli’. Yasin menjelaskan tidak jarang jurnalis  yang tidak dapat membedakan apa arti saksi dan ahli, dengan menyebut ahli sebagai saksi ahli. Padahal, penggunaan kata ‘saksi ahli’ kurang tepat, karena saksi ialah seseorang yang melihat, mengetahui, dan mendengar terjadinya sebuah peristiwa, sedangkan ahli adalah orang yang memberikan keterangannya sesuai dengan keilmuan tertentu di persidangan. Keduanya, memiliki konteks yang berbeda. “Maka, yang benar dalam menulis ahli dalam sebuah pemberitaan ialah ahli, bukan saksi ahli,” jelasnya.

Istilah lainnya, dalam sidang praperadilan hanya terdapat hakim tunggal. Namun, seringkali para wartawan menulisnya dengan majelis hakim. Padahal, sebutan majelis hakim itu berarti hakimnya lebih dari satu bukan tunggal. “Jadi, penggunaan majelis hakim dalam sidang praperadilan jelas salah,” koreksinya.

Kemudian, dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, terdapat istilah dan bahasa hukum dissenting opinion dan concurring opinion yang maknanya berbeda. Ada juga istilah ‘permohonan’ yang relatif bersifat sepihak, dan lema ‘gugatan’ yang cenderung mengandung unsur sengketa antara dua pihak atau lebih. Kesalahan lain yang sering ditemukan adalah penulisan putusan pengadilan ‘ditolak’ padahal baru tahap putusan sela dan putusan sebenarnya adalah ‘tidak dapat diterima’.

(Baca juga: Membumikan Bahasa Hukum)

Ketua Hubungan Antar Lembaga KY, Farid Wajdi mengatakan para wartawan seharusnya memahami dan menggunakan bahasa hukum yang tepat agar tidak menimbulkan dalah kaprah dan multitafsir dikalangan masyarakat.  Ia mencontohkan, misalnya di KY sendiri. Ia menjelaskan saat KY melakukan pemeriksaan terhadap hakim, seringkali jurnalis membahasakannya dengan istilah ‘menyelidiki’. Padahal, KY tidak pernah menyelidik hakim tetapi hanya memeriksa. Selain itu, sebutan sebagai hakim yang diperiksa adalah ‘hakim terlapor’ bukan ‘tersangka’.

Contoh lainnya, lanjut Farid, pemberitaan sidang yang ditunda karena salah satu pihak tidak hadir. Acapkali jurnalis menulis sidang tersebut ‘dibatalkan’. Padahal penundaan dan pembatalan sidang adalah dua lema yang berbeda maksud. “Ini kan sudah berbeda sekali maknanya,” tuturnya.

Tags:

Berita Terkait