Jalan Lain Menuju Lima Kemaslahatan
Resensi:

Jalan Lain Menuju Lima Kemaslahatan

Salah satu rujukan yang sudah memutakhirkan kajian hingga ke aktivitas perekonomian terbaru seperti ojek daring dan go-food.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi buku yang diresensi. Ilustrator: HGW
Ilustrasi buku yang diresensi. Ilustrator: HGW

Ada banyak jalan untuk mencapai negara kesejahteraan (welfare state) atau negara yang adil dan makmur. Tidak kurang banyak pula gagasan, teori, dan sudut pandang yang berkaitan dengan cara manusia untuk mencapai kesejahteraan itu. Di Lingkungan kajian-kajian hukum pun berkembang jalan pikiran negara hukum modern (rule of law)yang berintikan tujuan negara adalah menyejahterakan rakyatnya. Semua gagasan ditopang argumentasi masing-masing, dan nyaris tidak ada pemerintahan yang tidak mengklaim keinginan membuat rakyatnya sejahtera.

Tentu saja, kesejahteraan itu akan dicapai melalui kebijakan, perangkat, dan pranata yang tersedia. Buku yang ada di hadapan pembaca ini, sebuah karya hasil revisi, juga berangkat dari pemikiran bahwa tujuan akhir ekonomi Islam adalah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat melalui tata kehidupan yang baik dan terhormat serta mewujudkan kesejahteraan yang hakiki bagi ummat manusia. Dengan kata lain, sistem ekonomi Islam dipandang salah satu jalan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan menuju kesejahteraan.

Hukum Ekonomi Islam karya Farid Wajdi dan Suhrawardi K. Lubis ini merupakan salah satu dari banyak literatur yang mengangkat tema senada. Sebagian referensi di Indonesia menggunakan istilah ekonomi syariah. Ekonomi Islam atau Ekonomi Syariah dapat dipergunakan secara bergantian karena hakikatnya sama yaitu sebuah sistem yang menjelaskan pengaturan ekonomi berdasarkan syar’iah. Ini juga suatu sistem yang berusaha mencapai lima kemaslahatan dalam Islam: keimanan (al-din), ilmu (al-‘alim), kehidupan (al-nafs), harta (al-maal), dan kelangsungan keturunan (al-nasl).

(Baca juga: Rangkaian Kebijakan Ini Diharapkan Bangkitkan Ekonomi Tahun Depan).

Bank syariah adalah praktik yang sudah bertahun-tahun dijalankan di Indonesia, yang dibentuk sebagai jalan keluar dari problematika keabsahan sistem bunga dalam perbankan konvensional. Bank syariah menggunakan sistem bagi hasil, yang berbeda dari sistem bunga (hal. 87-88).Di Indonesia, praktik bank syariah didukung oleh perangkat perundang-undangan yang memadai (misalnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah).

Hukum ekonomi Islam tak hanya menyangkut perbankan. Seperti diuraikan dalam buku ini, ada lembaga keuangan nonbank seperti asuransi, dana pensiun, pasar modal, perusahaan pembiayaan, dan baitul mal wat tamwil, termasuk dalam perkembangan terbaru seperti financial technology (fintech) dan transaksi ekonomi secara daring. Penggunaan uang elektronik dalam banyak transaksi, misalnya, dianggap sah jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam fatwa ulama (hal. 220). Beberapa pranata perekonomian terbaru sangat bergantung keabsahannya dalam perspektif Islam pada akad (perjanjian) yang dibuat.

Di sinilah pembaca akan menemukan pemutakhiran kajian dalam buku hasil revisi ini. beberapa hubungan hukum yang booming dan terjadi dalam aktivitas ekonomi warga ikut dibahas. Sebut misalnya transaksi ojek online (ojol). Skema akad transportasi daring dapat beraneka ragam. Pertama, transaksi antara pengguna dan perusahaan jasa transportasi berupa jual beli jasa (mengantarkan). Kedua, transaksi menggunakan saldo atau deposit, upah dibayar tunai sedangkan jasa dibayar tidak tunai dengan diskon. Ketiga, transaksi berupa jual beli jasa untuk manfaat yang akan diserahterimakan (ijarah maushufah fi dzimmah). Keempat, kontrak ijarah, deposit menjadi milik perusahaan jasa tgransportasi. Pembaca dapat merujuk lebih lanjut pada fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia mengenai pembiayaan mudharabah (hal. 228).

Hukumonline.com

Buku ini juga berusaha menguraikan dalil-dalil (hukum) fikih mengenai kegiatan ekonomi lainnya yang lazim dikenal di masyarakat seperti jual beli, pinjam meminjam, perantara perdagangan, garansi, jual beli valutas asing, penimbunan barang, jual beli kredit, perjanjian pemborongan, sewa beli, dan waralaba (franchise). Tidak perlu diuraikan lebih detil di sini bagaimana hukum Islam mengaturnya, karena jauh lebih bernas dan bermanfaat jika membaca langsung uraian penulis. Apapun pranata yang dibahas, pada prinsipnya tidak dapat dilepaskan dari asas-asas hukum ekonomi Islam secara umum, dan intisari konsepsi hukum ekonomi Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits.

Hukum ekonomi Islam itu menekankan pada moralitas dan etika; menghindari praktik ekonomi yang tak sesuai prinsip Islam; tidak menafikan eksistensi ekonomi mainstream; bebas nilai; dan berasaskan keadilan (hal. 10). Dan satu hal lagi yang penting, jika terjadi sengketa dalam aktivitas perekonomian itu, ada mekanisme atau forum penyelesaiannya. Seperti halnya ekonomi mainstream, Islam juga tak menafikan pemanfaatan mediasi, arbitrase, atau penyelesaian melalui litigasi. Di Indonesia, sengketa ekonomi syariah menjadi kompetensi Pengadilan Agama (sesuai dengan rumusan UU No. 7 Tahun 1989, dan terakhir direvisi dengan UU No. 50 Tahun 2009).

Seperti sebuah jalan, ada banyak pilihan bagi warga. Tinggal memilih jalan yang menurut pembaca merupakan jalan terbaik. Termasuk memilih pranata ekonomi Islam yang hendak dijalankan. Untuk memahami kaidah-kaidah hukumnya, buku terbitan Sinar Grafika ini salah satu yang dapat membantu.

Selamat membaca…!

Tags:

Berita Terkait