Jejak Perjuangan Melawan Delegitimasi Organisasi Profesi
Resensi:

Jejak Perjuangan Melawan Delegitimasi Organisasi Profesi

Ditulis seorang advokat, inilah buku yang mengisahkan jejak perjuangan advokasi melawan delegitimasi ‘Satu IDI’.

Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Desain cover buku: hukumonline/HGW
Desain cover buku: hukumonline/HGW

Buku ini bukan tentang sejarah pendirian suatu organisasi, sebab Anda tak akan menemukan riwayat awal pendirian Ikatan Dokter Indonesia. Tetapi kisah yang diuraikan tak mungkin dilepaskan dari sejarah. Buku ini tentang perjuangan menjaga soliditas organisasi, dan menguraikan langkah demi langkah advokasi. Ia juga mengisahkan jejalin komunikasi antara advokat dan klien; atau pembelaan kepentingan organisasi.

Mendokumentasikan perjuangan mengadvokasi kepentingan hukum organisasi terasa kuat urgensinya, apalagi jika proses yang dilalui itu laksana ujian demi ujian. Keberhasilan melewati ujian tentu patut disambut, tetapi apa yang dilalui dan apa yang dipersiapkan selama proses ujian itulah yang layak disimak. Bukankah proses tidak akan mengkhianati hasil? Bagi seorang lawyer, atau tim kuasa hukum, proses komunikasi yang baik dengan klien, lalu mengidentifikasi masalah, dan proses menyusun argumentasi dan dalil-dalil untuk memperjuangkan kepentingan bisa disebut sebagai elemen yang menentukan keberhasilan. Hasil akhirnya adalah terjaganya rumah bersama.

Proses perjuangan itulah yang coba dilukiskan oleh Muhammad Joni lewat buku Jejak Advokasi Satu IDI Rumah Besar Profesi Kedokteran. Ikatan Dokter Indonesia, disingkat IDI, adalah rumah besar bersama para pengemban profesi kedokteran. Profesi yang sarat nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai seorang lawyer professional, langkah Joni mendokumentasikan perjuanganya bersama klien menjaga rumah besar bernama IDI, patut diacungi jempol. Pertama, dari buku ini kita dapat mengetahui upaya apa yang dilakukan seorang lawyer bersama kliennya untuk memperjuangkan kepentingan hukum. Bagaimanapun, seyiap gugatan hukum bertemali dengan kepentingan hukum (hal. 17). Kedua, pembaca juga menyimak satu persatu dalil atau argumentasi yang dipergunakan, bagaimana argumentasi itu dibangun, dihubungkan dengan ‘konstitusi’ Ikatan Dokter Indonesia. Ketiga, langkah yang ditempuh Joni ini adalah sebuah wujud akuntabilitas advokat bukan saja kepada kliennya, tetapi juga kepada publik. Meskipun tak punya kewajiban kepada publik, Joni telah menunjukkan sesuatu yang layak ditiru oleh advokat lain: dokumentasi advokasi.

Joni menyebut buku ini sebagai ‘reportese’ jejak-jejak Ikatan Dokter Indonesia dalam mempertahankan sejarahnya yang tinggi adab dan cerdas sebagai organisasi profesi. Sejarah IDI memang mencatat adanya upaya membelah rumah bersama. Beberapa orang dokter berkeinginan membangun ‘rumah’ lain meskipun sudah ada rumah besar bersama bernama IDI. Mereka yang dibebani tanggung jawab mengurus rumah besar itu tak ingin ada perpecahan, sehingga langsung cito, kata Latin yang bermakna segera bertindak. Seperti di ruang gawat darurat, seorang dokter segera melakukan tindakan terhadap pasien.

Hukumonline.com

Dengan bahasa bernuansa sastrawi, Joni mengisahkan jejak advokasi IDI ketika ada yang menguji ketentuan mengenai wadah tunggal IDI ke Mahkamah Konstitusi, melalui pengujian Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Kisahnya dibagi ke dalam fase sederhana: sebelum sidang, selama sidang, dan paska persidangan. Semula, buku ini hendak dipersembahkan sebagai hadiah ulang tahun IDI pada Oktober, apa daya penyusunannya ‘nyaris ambruk tak selesai’. Sang penulis harus sering berkelahi dengan waktu, dan menjaga hati terbaik untuk menulis.

Seperti disinggung di awal, buku ini memang mendokumentasikan argumentasi, termasuk pertimbangan hakim-hakim Mahkamah Konstitusi. Namun, bagaimana perspektif seorang lawyer melihat kasus yang sedang diadvokasinya menarik untuk dibaca. Tidak mengherankan jika buku ini mengulas proses pembuatan surat kuasa dari klien kepada tim hukum (hal. 57), atau meyakinkan hakim bahwa IDI adalah organisasi profesi, bukan serikat pekerja.

Jejak advokasi yang dihimpun Joni dalam buku ini tak berdiri sendiri. Dokumentasi ini adalah hasil ujian kedua (hal. 18). Sebelumnya, pada 2015, ujian pertama juga dilalui ketika ada pengujian terhadap Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam dua ujian itu, Joni diminta membantu advokasi kepentingan IDI. Persisnya memperjuangkan eksistensi ‘Satu IDI’.

IDI bukan satu-satunya organisasi profesi yang menghadapi tantangan serupa. Bagi pembaca yang mengikuti perjuangan profesi lain di Mahkamah Konstitusi, tercatatlah dalam sejarah bagaimana diskursus yang berkembang mengenai wadah advokat, notaris, dan pengusaha. (Untuk advokat, baca misalnya buku PERADI Organ Negara Konstitusional, Studi Sejarah Organisasi Advokat Indonesia karya D. Romi Sihombing dan M.Z Al-Faqih, 2022).

Tentu saja ada pelajaran yang dapat dipetik dari perjuangan mengadvokasi rumah besar bersama profesi kedokteran: IDI jalan terus! Dan Muhammad Joni telah mendokumentasikan perjuangan advokasi sebagai pengingat kepada generasi sekarang dan yang akan datang. Ia menyebut bukunya sebagai jejak perjuangan melawan delegitimasi ‘Satu IDI’.

Selamat membaca…

Tags: