Jelang Debat, Capres-Cawapres Perlu Cermati 3 Isu Lingkungan Ini
Berita

Jelang Debat, Capres-Cawapres Perlu Cermati 3 Isu Lingkungan Ini

Yaitu tata kelola hutan dan lahan; pesisir dan maritim; pengendalian pencemaran dan pengelolaan sampah.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Jelang Debat, Capres-Cawapres Perlu Cermati 3 Isu Lingkungan Ini
Hukumonline

Sebagai bagian penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019, KPU telah merancang jadwal debat antara kedua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Rencananya debat akan digelar 5 kali, dan debat pertama dijadwalkan 17 Januari 2019. Ada berbagai isu yang akan dibahas dalam acara debat itu, antara lain terkait Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.

 

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mencatat Pilpres 2019 akan menentukan arah kebijakan pemerintah dalam waktu 5 tahun ke depan. Kebijakan yang akan ditempuh Presiden dan Wakil Presiden terpilih nantinya tak lepas dari capaian pemerintah periode sebelumnya. ICEL mencatat sedikitnya ada 3 isu lingkungan yang penting untuk diperhatikan Capres-Cawapres.

 

Pertama, tata kelola hutan dan lahan. Mengenai penegakan hukum terhadap pelaku kebakaran hutan dan lahan. ICEL mencatat belum ada upaya yang berdampak nyata pada pemulihan lingkungan. Pasangan Capres-Cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin, dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno dinilai belum banyak mengulas bagaimana merencanakan pemulihan dan strategi eksekusi gugatan triliunan yang dimenangkan pemerintah.

 

Menurut ICEL, isu pengendalian kebakaran hutan dan lahan kedua pasangan Capres-Cawapres masih berfokus pada peran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Padahal, Inpres No.11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan mengamanatkan peran itu dijalankan lintas kementerian dan lembaga.

 

Soal perhutanan sosial, ICEL melihat pemerintah menetapkan target luasan perhutanan sosial mencapai 12,7 juta hektar di tahun 2019. Target itu sangat sulit tercapai jika tidak dibarengi strategi “radikal”. Dalam pengelolaan perkebunan sawit, misalnya, pemerintah melakukan moratorium dengan menerbitkan Inpres No.8 Tahun 2018.

 

Kepala Divisi Tata Kelola Hutan dan Lahan ICEL, Rika Fajrini, menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk moratorium sawit sudah tepat. “Penguatan implementasi Inpres Moratorium Sawit lebih strategis menjawab permasalahan perkelapasawitan dibandingkan memaksakan lahirnya UU Perkelapasawitan,” ujar Rika dalam keterangan pers yang dirilis ICEL, Rabu (9/1/2019). Baca Juga: Inilah Profil Anggota Panelis Debat Pilpres Tahap I

 

Kedua, tata kelola pesisir dan maritim. Tentang reklamasi, pemerintah cenderung mengutamakan investasi dibandingkan aspek lingkungan hidup dan sosial. Pemerintah memberi lampu hijau untuk reklamasi di 14 provinsi dan menerbitkan kembali izin reklamasi Teluk Benoa.

 

Menurut Kepala Divisi Tata Kelola Maritim dan Pesisir ICEL, Ohiongyi Marino, kebijakan serupa juga pernah dilakukan pemerintah untuk reklamasi di Teluk Jakarta. “Kebijakan reklamasi masih minim partisipasi masyarakat, namun masif kepentingan investor,” kritiknya.

 

Untuk penanganan sampah plastik, ICEL menilai komitmen pemerintah minim dalam manajemen sampah di laut. Absennya regulasi yang menangani persoalan ini mengakibatkan tindakan dilakukan oleh masing-masing kementerian tanpa sinergi dengan kementerian dan lembaga lain. Hal serupa juga terjadi dalam upaya pencapaian target kawasan konservasi perairan dan perikanan berkelanjutan.

 

Ketiga, perihal pengendalian pencemaran. Untuk kebijakan pengelolaan sampah, kebijakan pemerintah pusat fokus pada penanganan, tapi kurang memperhatikan pengurangan sampah. Untungnya ada beberapa daerah yang memberi perhatian terhadap isu pengurangan sampah.

 

Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran ICEL, Margaretha Quina, mengatakan orientasi penanganan sampah melupakan hal penting seperti pengangkutan dan pengolahan terpilah dan konversi ke sanitary landfill. “Ini mandat UU No.18 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah, akibatnya pengelolaan sampah secara holistik (menyeluruh) tidak terwujud,” urainya.

 

Secara umum, ICEL mencatat pemerintah kerap menetapkan target ambisius tanpa didasarkan kajian bukti yang tepat, sehingga sulit tercapai. Pemerintah cenderung bergerak mencapai angka sebagaimana ditargetkan melalui percepatan, tapi tidak memastikan sarana dan prasarana penunjang. Misalnya, instrumen pencegahan dan pengawasan.

 

“Kita berharap pasangan capres-cawapres mengawal isu perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,” lanjut Direktur Eksekutif ICEL, Henri Subagiyo.

 

Henri mencatat periode pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tak jarang menerbitkan kebijakan yang menunjukan hukum sebagai ambisi kekuasaan. Misalnya, PP No.13 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Menurutnya, peraturan ini untuk memuluskan proyek Strategis Nasional. “Semestinya tata ruang harus dilihat secara menyeluruh di tingkat nasional sampai daerah,” kritiknya.

 

Selanjutnya mengenai PP No.24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau dikenal dengan istilah OSS. Bagi Henri, peraturan ini menegaskan pemerintah dengan mudah menerabas aturan yang tingkatnya lebih tinggi. Dari aspek layanan seolah cepat, tapi tidak menjamin kepastian hukum bagi pengusaha dan masyarakat.

 

Henri juga menyoroti komitmen pemerintah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Dalam putusan pengadilan terkait PT Semen Indonesia, dan PLTU Cirebon, yang intinya memenangkan kelompok masyarakat. Alih-alih menjalankan putusan itu, pemerintah daerah malah menerbitkan izin baru. Henri tidak melihat pemerintah pusat melakukan upaya untuk merespon tindakan (keliru) yang dilakukan pemerintah daerah itu.

 

“Padahal dalam UU Pengadilan Tata Usaha Negara, penanggung jawab eksekusi TUN tertinggi itu di pusat. Tidak ada preseden leadership selama ini oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah,” papar Henri.

 

Melihat visi dan misi capres-cawapres, Henri berpendapat isu yang diusung bersifat umum dan tidak ada target terukur. Kedua pasangan capres-cawapres menyinggung soal lingkungan hidup, tapi masih bias daratan dan kurang penekanan pada isu pesisir dan maritim. Rehabilitasi lingkungan sudah disuarakan, tapi minim menunjukan upaya pencegahan dan penetapan standar kualitas.

 

Henri juga belum melihat kedua pasangan capres-cawapres mengintegrasikan adaptasi dan mitigasi bencana dalam kebijakan penataan ruang dan perlindungan lingkungan hidup. Terakhir, partisipasi dan perlindungan masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan belum menjadi fokus utama.

 

Kasus lingkungan

Sebelumnya, YLBHI melansir jumlah perkara yang mereka tangani selama 2018 sebanyak 3.455 kasus. Dari berbagai kasus itu, YLBHI mencatat ada 10 hak yang terlanggar, antara lain hak atas lahan/tanah (46 kasus), hak atas tempat tinggal (39), hak untuk hidup termasuk standar hidup yang layak (23), dan hak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif (23).

 

Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, Siti Rakhma Mary Herwati, mengatakan selama 2018 YLBHI mendampingi 19 kasus lingkungan. Pelanggaran paling tinggi berada di sektor energi (PLTU) yakni 8 kasus; pertambangan (4 kasus); infrastruktur (3 kasus); air (2 kasus); perkebunan dan industri manufaktur masing-masing 1 kasus.

 

“Sepanjang 2018 LBH di bawah naungan YLBHI menggugat 3 izin PLTU,” kata Siti Rakhma di Kantor YLBHI, belum lama ini.

 

Selaras itu, Rakhma menjelaskan selama 2018 LBH dan YLBHI menangani 27 kasus kriminalisasi pejuang agraria dan lingkungan hidup. Jumlah korban yang didampingi mencapai 202 orang meliputi 134 pejuang agraria dan 68 pejuang lingkungan hidup.

 

Dalam konflik agraria masyarakat paling banyak berhadapan dengan korporasi (84 kasus), pemda (73 kasus), perhutani (54 kasus), TNI (34 kasus), BUMN (49 kasus), Polri (26 kasus), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (20 kasus), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (8 kasus), pengadilan (7 kasus), dan PT KAI (4 kasus).

 

“Sepanjang 2018, LBH-YLBHI menangani 300 kasus konflik agraria di 16 provinsi dengan luasan lahan konflik mencapai 488 ribu hektar,” katanya.

Tags:

Berita Terkait