Jimly Kritik Aturan Penetapan Status Darurat Bencana
Berita

Jimly Kritik Aturan Penetapan Status Darurat Bencana

UU Penanggulangan Bencana terkesan menggunakan paradigma desentralisasi. Seharusnya ada di tangan Presiden sebagai kepala negara hukum.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Para pembicara dalam seminar nasional Hukum Tata Negara Darurat dalam Keadaan Bencana, di FHUI Depok, Senin (15/4). Foto: MYS
Para pembicara dalam seminar nasional Hukum Tata Negara Darurat dalam Keadaan Bencana, di FHUI Depok, Senin (15/4). Foto: MYS

Ketua Mahkamah Konstitusi (2003-2009) Jimly Asshiddiqie menegaskan Indonesia adalah negara dengan potensi bencana yang besar. Dapat dikatakan seluruh wilayah Indonesia adalah daerah rawan bencana, baik bencana alam dan non-alam maupun bencana sosial. Gempa disusul tsunami di Aceh pada 2004 dan gempa yang menelan korban ratusan orang di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah menjadi contoh nyata betapa wilayah Indonesia rawan bencana.

Dengan kondisi demikian, kata Jimly, seharusnya semua bidang ilmu pengetahuan menaruh perhatian potensi kebencanaan di Indonesia. Perhatian demikian seharusnya juga diberikan kalangan akademisi dan praktisi hukum. Potensi kebencanaan seharusnya mendorong tumbuhnya kajian-kajian hukum tata negara darurat dalam keadaan bencana. Sayangnya, perhatian terhadap hukum tata negara darurat masih minim.

Sebagai contoh, dalam peraturan perundang-undangan ada kesalahan paradigma berpikir seolah-olah negara selamanya dalam keadaan normal. Materi muatan sebagian besar Undang-Undang hanya mengatur negara dalam keadaan normal. Padahal, sangat mungkin juga terjadi keadaan darurat karena beragam sebab. Mungkin saja disebabkan krisis ekonomi berkepanjangan, atau karena bencana alam. Dalam hukum tata negara dikenal istilah istilah staatsnoodrecht, untuk menggambarkan hukum tata negara darurat.

“Hukum normal itu hanya untuk negara dalam keadaan normal, bukan untuk negara dalam keadaan abnormal,” ujar Jimly saat tampil sebagai pembicara dalam seminar Hukum Tata Negara Darurat dalam Kondisi Bencana Alam, yang diselenggarakan di kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Senin (15/4).

(Baca juga: Tugas dan Fungsi Badan Nasional Penanggulangan Bencana).

Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI, Fitra Arsil, menjelaskan bahwa ini adalah kajian ketiga Hukum Tata Negara Darurat yang diselenggarakan FHUI di tengah minimnya perhatian para akademisi dan praktisi hukum serta aparat pemerintah terhadap aturan negara dalam keadaan darurat. Sebelumnya kajian dilakukan untuk darurat dalam bidang ekonomi, dan masalah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Wewenang Presiden

Dalam paparannya, Jimly tak hanya menggugah kepedulian kalangan akademisi, praktisi dan pengambil kebijakan, tetapi juga mengkritik pengaturan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kritik pakar hukum tata negara itu berkaitan dengan kewenangan menetapkan status darurat bencana. Siapa yang berwenang menetapkan status bencana ini merupakan salah satu yang perlu dilihat dari perspektif hukum.

Bencana, dalam perspektif UU tersebut, adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam, nonalam, atau faktor manusia sehingga mengakibatkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Pasal 51 UU Penanggulangan Bencana menyebutkan penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana. Jika skalanya nasional, status hukum bencana ditetapkan Presiden. Gubernur berwenang menetapkan status bencana untuk skala provinsi, dan bupati/walikota untuk bencana skala kabupaten/kota.

Aturan itulah yang dikritik keras Jimly. Menurut dia, penetapan status darurat bencana dan perubahannya adalah persoalan hukum yang serius sehingga seharusnya langsung ditangani oleh presiden selaku kepala negara hukum. “Ini (status darurat bencana- red)kok dikaitkan dengan desentralisasi,” ujarnya. “Ini soal serius. Harus oleh kepala negara. Hanya kepala negara yang berhak mengubah status hukum dari keadaan normal menjadi keadaan darurat,” sambungnya.

(Baca juga: Anda Menyumbang ke Daerah Bencana? Pahami Masalah Pajaknya).

Jimly menegaskan perubahan status suatu keadaan negara atau bagian negara dari kondisi normal menjadi abnormal, dan mencabut status abnormal menjadi normal kembali adalah persoalan hukum. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, bidang hukum adalah salah satu dari enam urusan yang berada di tangan pusat. Ia mengklaim di luar negeri, misalnya di Amerika Serikat, kewenangan menetapkan status darurat ada di tangan presiden meskipun skala bencana hanya di satu wilayah negara bagian. “Status darurat itu masalah hukum. Itu kewenangan yang tak bisa didesentralisasi”, tegasnya.

Untung Tri Winarso, anggota Aliansi Masyarakat untuk Penguatan UU Penanggulangan Bencana, mengatakan ada sejumlah norma dalam UU Penanggulangan Bencana yang seharusnya diperbaiki. Ia berharap Pemerintah dan DPR segera membahas agar masukan-masukan dari masyarakat dapat ditampung.

Tags:

Berita Terkait