JPU Tepis Eksepsi DL Sitorus
Berita

JPU Tepis Eksepsi DL Sitorus

Keberatan tentang kedudukan sebagian besar saksi yang berada di Tapanuli Selatan tidak ditanggapi.

Aru
Bacaan 2 Menit
JPU Tepis Eksepsi DL Sitorus
Hukumonline

 

Sementara, untuk keberatan penasihat hukum yang menyatakan bahwa perkara ini adalah perkara perdata dan bukannya pidana, JPU menganggap keberatan penasihat telah memasuki materi perkara. Meski demikian, JPU tetap menjawab pertanyaan seputar penerbitan 1820 buku tanah sertifikat hak milik yang oleh penasihat hukum dijadikan alasan bahwa perkara ini adalah perkara perdata.

 

Menurut JPU, dalam pemeriksaan materi perkara akan terlihat apakah penerbitan sertifikat tersebut menyimpang atau tidak. Mengutip sebuah teori hukum pidana modern yang menyatakan hukum pidana sebagai sarana premium remedium (sarana hukum yang diutamakan), JPU menepis anggapan jika penyelesaian sengketa perdata adalah pilihan yang harus dikedepankan.

 

Yang cukup menarik, JPU dalam tanggapannya menilai dalil keberatan penasihat hukum tersebut yang mengambil pendapat M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan permasalahan dan Penerapan KUHAP, jilid II hal. 662-663 tidak up to date. Pasalnya, JPU menemukan dalam buku dengan pengarang dan materi yang sama, tapi penerbitan yang berbeda, pendapat tersebut telah berubah.

 

Menjawab tudingan bahwa JPU telah merekayasa dan memaksakan tindak pidana kehutanan sebagai tindak pidana korupsi sehingga berkas tidak sah, JPU mengutip pendapat Schafmeister, ahli hukum pidana modern yang memperluas azas lex specialis derogat legi generalis (ketentuan umum mengesampingkan ketentuan umum) menjadi azas kekhususan yang sistematis.

 

Dengan azas itu, dapat ditentukan UU mana yang lebih sistematis mengatur suatu perbuatan. Kesimpulannya, kalaupun dipertentangkan antara ketentuan khusus tentang kehutanan dengan ketentuan khusus tentang korupsi, maka UU Korupsi lebih spesialis sistematis daripada UU Kehutanan.

 

Dari penelusuran hukumonline, penggunaan UU Korupsi dalam perkara kehutanan ini bukan barang baru. Contohnya saja dalam perkara Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. JPU yang sama dengan perkara DL Sitorus, yakni M. Jasman menjerat Adiwarsita dengan dakwaan korupsi.

 

Dalam wawancaranya dengan hukumonline sebelumnya, Jasman menyatakan kasus kehutanan yang dijadikan perkara korupsi ini merujuk Surat Edaran Jaksa Agung yang didasari Instruksi Presiden 4/2005 tentang pemberantasan illegal logging.

 

Selanjutnya, JPU juga membantah eksepsi pemasihat hukum yang menyatakan dakwaan kabur karena pencantuman Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Sumatera Utara No.7 Tahun 2003 dalam uraian dakwaan kesatu padahal tempus delictie-nya (waktu kejadian) disebutkan berkisar 1998-1999. Disampaikan JPU, pencantuman Perda tersebut justru untuk melengkapi ketentuan lain yang menyatakan kawasan hutan padang lawas adalah hutan negara.

 

Sayangnya, JPU dalam tanggapannya tidak menjawab keberatan penasihat hukum tentang domisili para saksi dalam perkara tersebut. Diketahui sebagian besar saksi bertempat tinggal di Tapanuli Selatan. Memperhatikan azas peradilan yang sederhana, cepat dan murah, hal tersebut sepatutnya layak untuk dikaji.

Sidang dugaan korupsi pengelolaan hutan dengan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus (DL Sitorus) kembali bergulir. Kali ini giliran M. Jasman, Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyampaikan tanggapan atas eksepsi (keberatan) DL Sitorus.

 

Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (4/4), JPU menyatakan PN Jakarta Pusat berhak menyidangkan perkara DL Sitorus. JPU menilai persidangan yang digelar di PN Jakarta Pusat bukan merupakan pemindahan locus delictie (tempat kejadian) yang berada di wilayah hukum PN Padang Sidempuan, melainkan pemindahan lokasi persidangan yang mana hal tersebut sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan menjadi hal yang biasa dalam praktek peradilan.

 

JPU juga memandang, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, KMA/003/SK/I/2006 yang menjadi dasar pelimpahan adalah suatu beschikking (suatu keputusan) dalam domain hukum administrasi negara, sehingga majelis hakim PN Jakarta Pusat tidak berwenang untuk menguji KMA ini.

 

Terkait dengan ‘keadaan daerah yang tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara' yang diatur pasal 85 KUHAP, JPU menganggap yang berhak menentukan keadaan daerah memungkinkan atau tidak adalah Ketua PN atau Kepala Kejaksaan Negeri. KUHAP menurut JPU tidak memberikan kewenangan kepada terdakwa atau penasihat hukum atau pihak manapun untuk menilai hal itu.

Tags: