Kader Golkar Persoalkan Efektivitas Mahkamah Partai
Utama

Kader Golkar Persoalkan Efektivitas Mahkamah Partai

Majelis menyoroti legal standing dan petitum permohonan. Buntut persengketaan kepengurusan partai yang berimbas pada pencalonan kepala daerah.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Yanda Zaihifni Ishak selaku Pemohon didampingi kuasanya Heriyanto dalam sidang perdana uji materi UU Partai Politik, Kamis (30/7). Foto: Humas MK
Yanda Zaihifni Ishak selaku Pemohon didampingi kuasanya Heriyanto dalam sidang perdana uji materi UU Partai Politik, Kamis (30/7). Foto: Humas MK
Lantaran gagal mencalonkan diri sebagai gubernur di Provinsi Kalimantan Selatan dan Jambi, dua kader Partai Golkar kubu Agung Laksono mempersoalkan Pasal 33 ayat (1) tentang Partai Politik dan Pasal 2 angka 5 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gusti Iskandar dan Yanda Zaihifni Ishak merasa dirugikan akibat berlakunya kedua pasal itu yang secara tidak langsung telah menjegal langkah mereka menjadi calon kepala daerah.   .   Menurut kedua pemohon, membawa masalah kepengurusan Parpol ke ranah pengadilan justru membuat permasalahan perselisihan semakin runyam atau tidak efektif.   Pasal 33 ayat (1) UU Parpol menyebutkan, Pasal 2  UU PTUN tidak memasukkan “ ke dalam pengertian Keputusan TUN.   Seperti diketahui, Partai Golkar mengalami konflik internal dengan adanya dualisme kepengurusan. Awalnya, Mahkamah Partai Golkar sudah memutus kepengurusan DPP Partai Golkar yang sah dipimpin Ketua Umum Agung Laksono (kubu hasil Munas Ancol) dan telah disahkan oleh Keputusan Menteri Hukum dan HAM. Namun, kepengurusan DPP Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie (kubu hasil Munas Bali) membawa persoalan ini ke pengadilan.   Menurut pemohon, tafsir pengadilan atas Pasal 33 ayat (1) UU Parpol ini dalam memutus kasus yang sama berbeda-beda. Dalam kasus ini, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara dalam putusan selanya menyatakan berwenang mengadili perkara sengketa kepengurusan partai ini. Sementara putusan PN Jakarta Barat dan PN Jakarta Pusat menyatakan tidak berwenang karena dianggap wewenang Mahkamah Partai.   Demikian pula putusan PTUN Jakarta No. 62/G/2015/PTUN JKT yang telah membatalkan Keputusan Menkumham terkait

Terakhir, pada Jum’at (10/7) lalu, PTTUN Jakarta mengabulkan eksepsi (keberatan) banding Menkumham dan kubu Agung Laksono. Dengan putusan itu, SK Menkumham yang mengesankan kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono tetap berlaku efektif.Kini, kubu DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie tengah mengajukan kasasi ke MA.

Menurut Heriyanto, frasa “tidak tercapai” dalam Pasal 33 ayat (1) UU Parpol mengandung ambiguitas, multitafsir, dan ketidakpastian hukum. Padahal, putusan Mahkamah Parpol seharusnya bersifat final dan mengikat demi memberikan kepastian hukum. “Artinya, kalau partai mau berkonflik, ya partai itu harus bisa menyelesaikan konfliknya sendiri. Jangan sampai peran negara tidak bisa memberikan win-win solution,” harapnya.

Ditegaskan Heriyanto, ketidakpastian hukum terkait kepengurusan Partai Golkar yang sah telah merugikan kedua pemohon. Soalnya, kedua pemohon sudah dinyatakan ditolak pendaftarannya oleh KPU lantaran adanya sengketa dualisme kepengurusan di pengadilan hingga saat ini belum selesai. Jika DPP yang disahkan oleh Keputusan Menkumham belum final dan mengikat, maka persetujuan pencalonan kepada para Pemohon juga tidak dapat diberikan.

Karenanya, para pemohon meminta tafsir konstitusional bersyarat dengan menyatakan Pasal 33 ayat (1) UU Parpol dimaknai penyelesaian perselisihan terkait pelanggaran terhadap hak anggota partai, pemecatan tanpa alasan yang jelas, penyalahgunaan wewenang, dan pertanggungjawaban keuangan dan keberatan terhadap keputusan partai politik dapat diajukan upaya hukum ke pengadilan negeri.

Frasa badan peradilan” dalam Pasal 2 angka 5 UU PTUN konstitusional dengan sepanjang dimaknai mencakup Mahkamah Partai Politik atau sebutan lainnya serta badan-badan yang diberikan kewenangan memeriksa dan memutus perselisihan dengan putusan bersifat final dan mengikat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menanggapi permohonan, Patrialis Akbar mengingatkan agar pemohon menegaskan kembali kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan ini. “Saya mau luruskan mengenai legal standing, kita tidak bicara dulu masalah kepengurusan partai mana yang lebih sah? Kita tahu ada proses-proses di lembaga peradilan. Kalau Saudara masih bertahan dengan posisi itu dan menyebut mewakili Partai Golkar, ini perkaranya tidak akan naik,” kata Patrialis.

Dia menyarankan agar pada legal standing sebagai warga negara Indonesia yang dirugikan hak konstitusionalnya sebagai calon kepala daerah.  Selain itu, Patrialis meminta agar pasal yang diujimaterikan dikaitkan dengan pasal batu uji dalam UUD 1945. “Saudara arahkan bahwa itu bertentangan dengan konstitusi. Ini belum kelihatan,” sarannya.

Anggota Majelis Wahiduddin Adams mengingatkan petitum Pasal 33 ayat (1) UU Parpol seharusnya juga menyebutkan keberadaan Pasal 32 dan penjelasannya. Menurutnya Pasal 33 akan terkait atau berimbas pada pasal 32, kalau MK memutuskan permohonannya konstitusional bersyarat. “Coba ini dicermati,” kata Wahiduddin.
UU No. 2 Tahun 2011UU No. 51 Tahun 2009

Seperti dituturkan para pemohon melalui kuasa hukumnya, Heriyanto, sebenarnya Pasal 32 ayat (4) dan (5) UU Parpol sudah menggariskan Mahkamah Partai harus menyelesaikan perselisihan kepengurusan dalam waktu 60 hari dan putusannya bersifat final dan mengikat. Namun, Pasal 33 ayat (1) UU Partai Politik justru menyebut dalam hal penyelesaian perselisihan seperti dimaksud Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri

“Pengadilan tidak akan memberikan penyelesaian masalah yang imbang atau win-win solution,” ujar Heriyanto dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang MK yang diketuai Patrialis Akbar, Kamis (30/7) kemarin.

Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri.” Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku





pengesahan kepengurusan Partai Golkar versi Agung Laksono tertanggal 23 Maret 2015. Putusan ini dinilai bertentangan dengan Putusan MA No. 194/K/TUN/2011 jo Putusan PTUN Jakarta No. 138/G/2009/PTUN JKT terkait sengketa kepengurusan Partai Peduli Rakyat Nasional.
Tags:

Berita Terkait