Kaidah-Kaidah Yurisprudensi dalam Penjatuhan Dwangsom
Berita

Kaidah-Kaidah Yurisprudensi dalam Penjatuhan Dwangsom

Tuntutan uang paksa banyak berkembang dalam praktek putusan pengadilan.

Oleh:
Muhammad Yasin/Aida Mardhatillah
Bacaan 2 Menit

 

Tetapi benarkah kaidah hukum dalam putusan itu tak dapat disimpangi? Berdasarkan penelusuran hukumonline, ada satu putusan banding yang menarik. Berbasis pada yurisprudensi tadi, majelis hakim tingkat pertama (PN Batam) menolak mengabulkan permintaan uang paksa. Namun di tingkat banding (PT Pekanbaru), hakim melakukan koreksi. Pertimbangannya mungkin menarik. Benar bahwa ada yurisprudensi yang melarang penjatuhan dwangsom jika hukuman pokoknya berupa pembayaran uang. Tetapi, menurut majelis hakim banding, untuk menjamin agar penggugat tidak mengalami kerugian yang berlarut-larut dan untuk menjamin agar tergugat sesegera mungkin melaksanakan kewajiban membayar utangnya, maka dwangsom dapat dikabulkan. Yang penting, besaran uang paksa disesuaikan dengan tanggungan utang tergugat.

 

Pertimbangan majelis hakim perkara No. 16/Pdt/2012/PTR mengabulkan dwangsom itu adalah karena hakim tingkat pertama menolak permohonan sita jaminan terhadap harta tergugat. Majelis banding berpendapat eksekusi akan terkendala di kemudian hari jika sita juga ditolak. “Bahwa dengan ditolaknya permohonan sita jaminan tersebut, maka pelaksanaan putusan perkara  a quo di kemudian hari berupa pemenuhan kewajiban pembayaran utang tergugat kepada penggugat akan menjadi terkendala atau setidak-tidaknya menjadi berlarut-larut yang menyebabkan bertambahnya kerugian penggugat, sehingga untuk hal itu diperlukan adanya suatu sarana pemaksa berupa uang paksa (dwangsom) yang harus dibebankan kepada tergugat”. Hukumonline belum mendapatkan konfirmasi apakah putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap atau belum.

 

(Baca juga: Tolak Terbangkan Penumpang, MA Hukum Maskapai Penerbangan)

 

Kaidah hukum lain tentang uang paksa yang acapkali dikutip ada dalam putusan Mahkamah Agung No. 307K/Sip/1976, tertanggal 7 Desember 1976. Intinya, tuntutan uang paksa harus ditolak dalam hal putusan dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil jika putusan tersebut mempunyai kekuatan yang pasti. Dalam perkara pengosongan rumah ini, permintaan menjatuhkan uang paksa ditolak hakim banding karena hakim sudah menyatakan putusan dapat dijalankan terlebih dahulu. Permohonan kasasi dari tergugat ditolak Mahkamah Agung.

 

Satu lagi yurisprudensi yang relevan adalah putusan Mahkamah Agung No. 3888K/Pdt/1994 dalam sengketa mengenai kepemilikan sebuah gedung di Surabaya. Penggugat meminta pengadilan menjatuhkan dwangsom sebesar 500 ribu per hari. Pengadilan Tinggi Surabaya mengabulkan permohonan uang paksa tersebut meskipun nilainya turun separuh. Mahkamah Agung membatalkan putusan banding, dan mengadili sendiri perkara ini. Dalam amar kasasi, tidak ada lagi pembayaran uang paksa.

 

Kaidah lain dapat ditemukan dalam putusan Mahkamah Agung No. 24K/Sip/1958 tanggal 26 Maret 1958. Kaidahnya, dalam gugatan yang menuntut pelaksanaan suatu persetujuan berdasarkan atas Pasal 1267 BW, maka dalam gugatan ini dapat diminta juga pembayaran uang paksa (dwangsom) atas dasar Pasal 225 HIR. Masalah besarnya jumlah jumlah uang paksa adalah wewenang judex facti, yang hal ini mengenai penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam kasasi.

 

Pasal 225 ayat (1) HIR menyebutkan jika seseorang yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan, tapi ia tidak melaksanakannya dalam waktu yang ditentukan hakim, maka pihak yang menang dalam putusan itu dapat memohonkan kepada pengadilan negeri dengan perantaraan ketua supaya kepentingan yang didapatnya, jika putusan itu dipenuhi, dinilai dengan tunai. Menurut pasal ini, jumlah atau besaran uang paksa harus ditentukan.

 

Dalam prakteknya, jumlah uang paksa yang harus dibayarkan bisa beragam. Ada yang 500 ribu, ada yang 1 juta rupiah, dan 100 ribu rupiah, atau nilai lain sesuai putusan hakim. Jumlahnya bergantung pada nilai mata uang pada saat perkara diputus. Misalnya, seorang isteri di Bandung pernah dihukum membayar sepuluh rupiah per hari jika tidak pulang ke rumah yang dihuni bersama suaminya. Sanksi membayar uang paksa itu berlaku jika paling lambat 40 hari sejak melahirkan, si isteri tak juga kembali. Ini bukan kisah fiktif, melainkan sebuah kisah nyata yang pernah diputus hakim Landraad Bandung pada 13 April 1932.

 

Putusan Mahkamah Agung No. 34K/Sip/1954 tanggal 28 September 1965 menegaskan kaidah hukum: tuntutan pembayaran sejumlah uang paksa tidak dapat diterima karena tidak dijelaskan dasar hukumnya. Dalam kalimat lain, majelis hakim PN Jakarta Pusat dalam putusan No. 172/G/Pdt/2009 menimbang bahwa tuntutan uang paksa yang tidak berdasar hukum harus ditolak.

Tags:

Berita Terkait