Tolak Terbangkan Penumpang, MA Hukum Maskapai Penerbangan
Berita

Tolak Terbangkan Penumpang, MA Hukum Maskapai Penerbangan

Permohonan ganti rugi immateril ditolak.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Pengacara para penggugat, David ML Tobing. Foto: HOL
Pengacara para penggugat, David ML Tobing. Foto: HOL

Mahkamah Agung melalui putusan nomor 975K/PDT/2019 telah menghukum PT Indonesia Air Asia Extra (Air Asia) untuk membayar ganti kerugian material sebesar Rp5,2 juta dan membuat permohonan maaf melalui media cetak Kompas, Bisnis Indonesia, dan The Jakarta Post serta membebankan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp500.000 per hari keterlambatan bila Air Asia lalai melaksanakan putusan dalam perkara ini.

Putusan kasasi ini memenangkan pemohon kasasi, sekaligus membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Banten No. 9/PDT/2018/PN BTN dan putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 169/Pdt.G/2017/PN.Tng yang telah memenangkan Air Asia.

Sekadar mengingatkan, kasus ini bermula dari penolakan maskapai Air Asia untuk menerbangkan 4 orang penumpang yang telah membeli tiket, yakni Regina Goenawan (Penggugat I), Sandra Goenawan (Penggugat II), Richard Goenawan (Penggugat III) dan Ramona Goenawan (Penggugat IV). Penolakan itu terjadi saat proses check in untuk penerbangan Jakarta-Surabaya pada 4 November 2016. Alasannya, nama Penggugat I masuk dalam daftar hitam (blacklist) penerbangan. Meskipun hanya nama penggugat I yang masuk daftar hitam, Penggugat II, Penggugat III dan Penggugat IV pun akhirnya juga tidak diizinkan naik pesawat.

Kuasa hukum pemohon kasasi, David ML Tobing, menceritakan ketika itu Tergugat tidak memberikan alasan yang memuaskan dan tidak profesional. Para Penggugat juga tidak diberikan kompensasi serta fasilitas apapun. Akibatnya, Para Penggugat harus menunggu selama kurang lebih 4 jam 30 menit untuk membeli tiket dan terbang dengan maskapai lain menuju Surabaya.

Melalui korepondensi, Tergugat menyatakan bahwa pada tahun 2013 telah melakukan black list penumpang atas nama ‘Regina’ karena telah melakukan tindakan kekerasan terhadap salah satu awak kabin Tergugat. Padahal Penggugat I (Regina Goenawan) tidak pernah melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk apapun kepada awak kabin dan/atau karyawan Tergugat. Bahkan, pada 2 Mei 2015 dan 9 Mei 2016 Penggugat I pernah melakukan penerbangan menggunakan maskapai Tergugat dan tidak pernah ada larangan untuk melakukan penerbangan.

“Ini jelas salah orang. Tadinya enggak dijelaskan kenapa di-blacklist. Dalam rentang 2016 ke 2017 kita tanyakan terus. Kemudian dia bilang catatan namanya sama, padahal Regina pernah terbang setelah kejadian itu dengan Air Asia tapi tidak ada larangan. Kita tidak terima, akhirnya kita gugat,” kata David.

Meski sempat kalah di tingkat pertama (PN) dan Banding (PT), pemohon terus memperjuangkan haknya hingga Kasasi. PN dan PT, katanya, menolak gugatan lantas beranggapan bahwa gugatan kabur (obscuur libel) lantaran menganggap bahwa gugatan untuk kasus ini harusnya adalah wanprestasi bukan perbuatan melawan hukum (PMH). “Tapi kita bersikeras bahwa ini PMH,” tukasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait